Sabtu, 26 Juni 2010

MUTIARA INDAH DIBALIK BUSUK SAMPAH (IN GOD WE TRUST)




(ANA SARANIN, KALO BACA FATWA INI SAMBIL DENGER LAGU "PLAY THE GAME-NYA QUEEN" :-P, Fardhu Ain, HUKUMNYA

Wanita berjilbab abu-abu itu memojok ke sudut ruangan. Pandangan mata remaja muslimah itu bergidik memandang pria paruh baya yang kini ada di hadapannya. Sedetik kemudian dia berucap,”Masyaallah... pak, ingat,” tepis remaja muslimah itu makin dongkol.

Sepuluh detik kemudian, pemandangan yang kulihat adalah gerutuan berkombinasi lafadz-lafadz Tuhan Allah. Dari bibir remaja wanita tadi, tentunya. Sedangkan si bapak tua, ia ngeloyor pergi dengan raut muka tak jelas. Namun ia heran, apa dosa, atau tindak pidana atau perdata apa yang sudah ia perbuat.

Kejadian itu pemandangan yang kulihat sekira enam bulan lalu. Di kisaran April siang nan terik. Saat aku berkunjung ke rumah ulama wanita tersohor di kawasan Bekasi Kota. Sial, aku tidak bisa menemui si Ustadzah, (afwan ana salah sebut tadi ). Buruan tak dapat, sifat jahilku tiba-tiba menyeruak. Mengobral umpan tengik pada tiga remaja-remaja muslimah berjilbab yang sedang menekuri catatan, buku dan catatan administrasi yang bikin ketiga akhwat itu bingung bin sibuk.

“Ini buku aneh?” celutukan pancingan ku lempar.

“Afwan, antum lihat dulu, baru dikomentarin,” akhwat berjilbab merah muda langsung melotot ke arahku.

Bodo amat, I don’t care it, yang penting one of the three muslimah women itu ada yang lirik-lirik ke aku. Perhaps, coz I’m handsome, clever, and the last... Taqlid buta sama Pak Hasyim (K.H. Hasyim Muzadi), Pap and Mom yang Super Remarkable deep in my heart.

Naravno, (Afwan ini lafadz Bosanski, jadi gak usah ditiru :-P). “Hei, bukankah perang Islam sama yahudi nggak akan klir,” my second naughty was out again.

“Antum gimana sih, yahudi itu musuh Islam. Kita wajib bantu masyarakat Palestina,” si akhwat berkacamata mulai angkat diskusi. Acik.....!

“Sepakat, tapi wajib yang mana ukhti, fardhu ain, kifayah, atau... emh... yang mana,” aku dekatkan arah kursiku ke meja ketiganya. (Maybe, ketiga akhwat tadi mulai pasang kuda-kuda, AWAS AKHI KOBOI BERAKSI).

(BUT I SAID, LET’S GET IT ON!) IDI, IDI, IDI....

Begini, di Palestina kan mayoritas muslim semua. “Tapi, seperti apa sih tafsir kalam Islami menurut ukhti?” aku angsurkan pertanyaan. Ketiganya memulai angkat bicara, one by one. Dimulai dari ukhti yang kacamata, ia lalu mengutarakan reason-nya. “Di qur’an kan aturannya kita harus menjalankan syariah yang diperintahkan Allah,”

And I said, “Itu sudah benar ( you’re right lady), tapi ada yang kurang,” aku mencoba berkelit. So be it, Aku langsung menyorong, play the game, “Tapi itu kan dasar. Istilahnya kalau dalam pelajaran nahwu sharaf, yang ukhti omongkan itu masuk bab kalam.”

Ketiga ukhti itu, tersenyum, BRAVO!

“Setahuku, (kacau nih) ana belajar dulu diberi ustad di kampung. Memaknai Qur’an itu ada tiga metode, pertama Baihaqi, Badhowi dan Irfani (SOHIB-SOHIB CELAIN GUA YA KALAU SALAH SEBUT NIH),“ aku menjelaskan setengah sempoyongan.

Metode pertama adalah mempelajari Kitabullah dengan memaknai arti kalimat, huruf, hingga tanda bacanya. Apakah salah? Waow benar sekaleee.... tapi kurang. Metode kedua, memaknai Qur’an dengan melihat konteks kejadian di jaman Rasulullah SAV.

Terus dilanjutkan dengan melihat perbandingan kondisi kekinian. Itu juga ada kitab-kitabnya, pusing belajarnya, but Interesting (sama kayak kita belajar fisika quantum :-P). Nah, terus ketiga, ini yang lebih ultra rumit, metode Irfani. Perlu orang arif, bijaksana, and sang maha Mufthi ini harus tahu ilmu Tasawuf luar dalam. Nah lho, gimana tuh. Cari Mufthi Akbar seperti ini di jaman ini wuh, sulait bos. Yang ada, kalau salah berguru bisa-bisa kita dapetnya sama cenayang-cenayang picisan. Trus gimana? Ya udah, berikhtiar aja. Sambil Jihad sekaligus munajad waktu berdo'a di tengah malam.

Lebih luas ketika berbicara dasar-dasar fiqih, mazhab dalam fiqh itu kan dibagi empat mazhab the great four Imam’s, imam Hanafi (that’s I love it), Imam Maliki (more compromise for any demographic region), Imam Syafi’i (long live in Indonesia and usefull on my place), terakhir Imam Hambali (strictly and dicipline for desert region, Middle East, for Hejaz, Yaman, and between it).

Ketiga ukhti itu makin diam. (antara mafhum, kagum, mungkin cie..., I’m win!)
“Terus, udah gitu kitabnya jelek-jelek. Warnanya nggak keren, Kuning,” aku lanjutin sekenanya, biar cepat-cepat nggak boring siang itu.

Kitabnya itu banyak, kalau dipelajari nggak selesai dalam tempo setahun. Tapi kalau sabar bisa bikin kita jadi so wise, and cool. Udah gitu huruf-hurufnya nggak ada harakatnya. But, siapa yang bisa membacanya, gue jamin kalau tes diplomat departemen luar negeri bakal lulus dengan predikat summa cum laude dan trus dikirim ke negara-negara Timur Tengah. Asyik kan.

Trus, ketiga ukhti tadi bilang. “Antum lulusan pesantren?” pertanyaan yang bikin aku berdebar.

“Nggak tapi sering nimbrung sama Pak Hasyim,” ku jawab dengan setengah malu-maluin. Jadwal Pak Hasyim kan super padat, paling-paling seminggu sekali aku ikut kajian tafsirnya. Selebihnya nunggu kabar agenda aja dari Mas-mas disana (Masjid Al Hikam 2 Depok, deket UI belakangnya).

Ketiganya makin diam. Duh, aku kasihan ngeliatnya, kayak ngeliat Sultan Muhammad al Fatih aja nih. Seketika itu juga Pak Tua dekil itu balik. Trus dia liat-liat, eh, nggak lama keluar lagi. Bapak, bapak.., bukannya ikutan diskusi lah kok malah keluar ngadem.

“Ukhti, kenapa tadi kok kayaknya sebel ngeliat bapak tadi, kayaknya nggak seru ya kalo ada orang tua,” aku tanya lagi.

“Abis... dia abis ngerokok sih. Kita nggak tahan sama baunya, udah dibilangin.

Susah,” jawab ukhti yang pakai kacamata (Ukhti ini cool, aku jadi kepincut) :-P.

“Merokok itu kan nggak ada baik, bahkan sama dengan haram dalam hukum Islam,” jawab ukhti yang pakai jilbab merah muda enteng. Ah, masa.

“Loh, memang ada aturan fiqhnya di Qur’an atau hadist. Terus padanannya apa? Setahu ana kalau kita, afwan mengkonsumsi khamar hukumnya memang haram. Trus padanannya kan sama dengan obat bius, (bius macan kale) atau narkoba. Itu haram, haditsnya, jangan tanya bejibun, and complicated. Terus kalau rokok dimana. And, apa salah bapak tua itu tadi. Semisal, kalau dia ternyata ahli hadits yang lagi nyaru gimana. Wah bisa berabe ini kita punya sikap dan akhlaq. Dosa bro....

Itu jawabku, tapi dalil yang dikeluarkan ukhti tadi juga benar. “Itu bukan sifat islami,” tukas ukhti yang satu lagi (mahap aku lupa deskripsinya, ketauan nih kalo ngarang).

“Ya, tapi kalau rupanya kerja bapak itu lebih mulia dari kita gimana. Misal abis shalat subuh, bapak itu cari atau bersihin sampah di kali. Sampai sore, pasti stinky kan si bapak. Tapi karena dia ngerjain dengan nawaitu ikhlas, biar anak-anaknya jadi orang saleh, ato biar jadi pengurus RT yang bikinin KTP murah tanpa dipungut biaya aneh-aneh (NGLANTUR LOE!). Atawa jadi pengurus negara yang budiman, gimana. (KEPANJANGAN.... NERANGINNYA MEN!!!).

KETIGA ukhti itu terdiam. “Ana punya kerabat yang kerjanya nggak seru, ya itu tadi. Tapi ana suka, karena dari sodara ana yang kerjanya bersihin kali tadi. Ana jadi bisa jago maen gitar, (BELAGU LOE, TAKABUR, TAPI BENER KAN :-p).

Walhasil, ketiga ukhti tadi memberikan secarik kertas nama Ustad Sulaeman Zachawerus. Ulama yang akan aku wawancarai, orangnya asyik. Kapan-kapan aku kesana lagi, macul ilmunya.

Sekitar tiga setengah jam aku ngibul sama ketiga ukhti manis-manis itu. Tapi gak pa-pa, kan tukar pengetahuan aja, biar kata gue juga masih ancur baca Kitab Asmawi ato Riyadush Sholihin, tapi... pede aja lagi.

Dari perkenalan itu aku dapat jadwal Ustadzah, dimana tempat liqonya, dan macam-macam. Sayang gua gak dapat bukunya tentang perbandingan agama (makanya modal brur, mo-nya gratisan).

Jujur, aku senang, kalao ada kesempatan lagi. Aku mo kesana. Ukhti-ukhti itu individu yang disiplin dan ikhlas-ikhlas (ehem...).

So, I’ll be back after this messages’s

Aku balik ke Jakarta lewat Kalimalang, macet, macet, tapi asyik. 

WASSSALAMMUALAIKUM MY FREN N SIS 

Ana bikin di Jakarta, Ahad, 27 bulan 7, 2010, jam 13.00 (blom sholat dzuhur nih), pantesan... NGACO!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar