Rabu, 28 September 2011

Saatnya Masyarakat Internasional Akui Palestina

Rabu, 21 September 2011
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai permohonan keanggotan Palestina di PBB merupakan momentum bagi masyarakat Internasional untuk memberikan kesempatan kepada Palestina untuk menjadi anggota PBB. Momentum itu sekaligus menguji perwujudan perdamaian sejati dan abadi di dunia. Disela acara Halal Bi Halal keluarga besar Muhammadiyah di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Selasa (21/9). Din mengatakan momentum ini juga akan menguji rasa keadilan Israel untuk memberikan kesempatan kepada Palestina untuk menjadi anggota PBB. Sebab Israel merupakan pihak yang paling menentang usaha negara tetangganya itu untuk menjadi bagian dari komunitas internasional, utamanya lewat keanggotaan di PBB. Din juga mendukung setiap usaha pemerintah Indonesia untuk memuluskan usaha Palestina menjadi anggota PBB. Kepada negara-negara besar, terutama AS dan Presiden Barrack Obama, Din mengharapkan agar Obama membuktikan keseriusannya untuk berhubungan dengan dunia Islam seperti yang dikemukakan dalam pidato di Universitas Al-Azhar, Kairo.

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Ubudiyyah 02/04/2007 11:01
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut: وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39) Juga hadits Nabi MUhammad SAW: اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ “Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.” Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya : وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن “Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat. وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ “Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19) سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ “Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud). Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain. Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”. Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya. Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya: عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ “Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.” Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup. KH Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Selasa, 27 September 2011

Muhammadiyah Terlalu Besar Untuk Dimasukkan Wilayah Politik Praktis

Selasa, 27-09-2011 Yogyakarta- Muhammadiyah adalah organisasi yang terlalu besar untuk dimasukkan dalam wilayah politik praktis, karena itu dengan banyaknya tawaran kekuasaan yang ada, menjadi ujian bagi Muhammadiyah konsisten pada jalurnya. Hal tersebut disampaikan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam rapat Konsolidasi Nasional Muhammadiyah yang digelar di gedung PP Muhammadiyah Jl Cik Di TIro no.23, Yogyakarta, Selasa (27/09/2011). Dengan dinamika sosial yang saat ini, Muhammadiyah banyak didorong kekuatan-kekuatan untuk masuk dalam wilayah politik yang hanya memetingkan kepentingan sesaat, “Muhammadiyah harus konsisten untuk selalu menjadi leader dalam menjaga nilai-nilai agama pada setiap kebijakan dan dinamika sosial di tingkat grassroot ,” jelas Din Syamsuddin. Sebagai gerakan dakwah pencerahan dengan segala kelemahan dan sisa kekuatan yang dimiliki menurut Din, kita tetap optimis dan terus bergerak untuk kearah kemandirian. “Apabila Muhammadiyah bergerak kearah yang sangat tergantung pada pemerintah, maka Muhammadiyah juga akan hancur apabila negara juga hancur,” tegasnya. Lebih lanjut menurut Din, apabila pemerintah tidak melanggar prinsip-prinsip kerakyatan dan agama, menurutnya, Muhammadiyah bisa menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan pemerintah. Pada sisi lain Din mengungkapkan, hal yang tidak akan ditolerir oleh muhammadiyah adalah masalah korupsi dan kebijakan yang tidak merakyat, apalagi yang berkaitan dengan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

PBNU: Tutup Situs Penyebar Radikalisme

Warta 27/09/2011 20:08
Jakarta, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta Pemerintah secepatnya menutup website yang menyebarkan faham radikalisme. Halaman elektronik tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab masih maraknya aksi terorisme, selain faktor pendidikan, kemiskinan dan kesejahteraan yang belum memadai. Seruan tersebut disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam jumpa pers di Gedung PBNU, setelah sebelumnya melakukan kunjungan ke lokasi ledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah. "Website yang menyebarkan radikalisme itu bahayanya melebihi situs porno. Saya secara pribadi dan atas nama PBNU meminta Pemerintah segera menutup itu," tegas Kiai Said di Jakarta, Selasa, 27 September 2011. Kiai Said menjelaskan, situs-situs yang menyebarkan faham radikalisme, selain meresahkan masyarakat juga membelokkan ajaran Islam yang sesunguhnya. Salah satunya tentang makna jihad dalam artian yang sesungguhnya. "Orang kalau melihat situs porno, reaksi sadar paling gampang hanya bilang Astagfirullah. Tapi kalau membuka situs radikalisme efeknya bisa lebih besar, orang akan memiliki pemahaman yang salah tentang agama yang bisa mengantarkannya menjadi pelaku terorisme," beber Kiai Said. Untuk merealisasikan desakan tersebut, Kiai Said berjanji akan menyampaikannya secara langsung ke Pemerintah, apabila di kesempatan mendatang bisa bertemu secara langsung dengan pihak terkait. "Kalau ternyata saya juga dimintai masukan, saya akan sampaikan. Bahkan kalau diminta rinci saya akan tulis masukan-masukan itu. Memberantas terorisme itu tugas bersama, termasuk Ormas Islam," tuntas Kiai Said. Redaktur : Emha Nabil Haroen Kontributor : Samsul Hadi

Kang Said: Jangan Percaya Pelaku Bom Bunuh Diri Dijemput Bidadari


Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menunjukkan sikap kerasnya terhadap terorisme. Kali ini masyarakat diminta tak mempercayai doktrin pelaku bom bunuh diri akan dijemput bidadari, karena itu sama sekali tidak benar.

"Mereka (pelaku bom bunuh diri) selalu yakin setelah beraksi akan mati syahid, akan dijemput bidadari. Padahal itu gombal, itu sama sekali tidak benar," tegas Kiai Said di hadapan sejumlah wartawan dalam jumpa pers terkait sikap PBNU atas ledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Selasa, 27 September 2011. 

Kiai Said menambahkan, NU sebagai civil society bernafaskan Islam memiliki tugas bersama-sama Pemerintah untuk menangkal semakin meluasnya penyebaran doktrin tersebut. Bahkan NU juga mengajak seluruh Ormas juga untuk melakukannya, mengingat pemberantasan terorisme tidak bisa dilakukan segelintir orang atau kelompok.

"Ini (tugas pemberantasan terorisme) tugas bersama. Ormas, Pemerintah dan semua elemen masyarakat harus melakukannya, harus total dan bersama-sama," sambung Kiai Said. Dalam paparannya Kiai Said juga menyayangkan begitu mudahnya generasi muda terpengaruh doktrin sesat tersebut, padahal kondisi di Indonesia sendiri diakui tak sepenuhnya mendukung suburnya radikalisme.

Kang Said, demikian Kiai Said masyhur disapa juga mengungkapkan, radikalisme dapat dimaklumi tubuh subur apabila Indonesia memiliki kondisi yang sama dengan kawasan Timur Tengah, dimana pendzaliman terhadap Islam terjadi secara terbuka dan terang-terangan. "Sekali lagi saya tegaskan ini tugas bersama, tugas NU dan Ormas-ormas lainnya. Mari bersama-sama menyadarkan mereka yang sudah terseret doktrin radikalisme, dan mengajarkan bagaimana Islam yang sebenarnya ke masyarakat," tuntas Kang Said.

SOURCE: www.nu.or.id

Sabtu, 24 September 2011

Tumbuhkan Nasionalisme - Ribuan Mahasiswa Baru UMSU Pakai Batik












Kamis, 22-09-2011
Medan- Kampus Universitas Mu­ham­madiyah Sumatera Utara (UM­SU) ini kali beda dari bia­sa­nya. Bagaimana tidak, halaman kam­pus tersebut dipenuhi ri­bu­an mahasiswa baru dengan me­­ngenakan batik lengkap se­jumlah barang bawaan untuk ke­giatan masa penyamputan ma­hasiswa baru (MPMB) 2011.
Panitia MPMB, Ronni Dar­ma­wan menjelaskan pembu­ka­an MPMB 2011 ini yang di­lak­sa­nakan di kampus UMSU Ja­lan Mukhtar Basri Medan, Se­nin (19/9) mengambil tema na­si­o­nalisme, sehingga mahasis­wa baru diwajibkan mengena­kan batik di hari pertama MP­MB UMSU untuk tumbuhkan ra­sa nasionalisme.

Menurut Ronni, bawaan yang dibebankan kepada para ma­­hasiswa bukan sebagai bentuk plonco, melainkan sudah tra­­disi mahasiswa harus me­leng­kapi banyak barang hari per­tama ini dengan barang yang tidak lazim dan hal ini di­mak­sudkan agar memun­cul­kan kesan di mahasiswa baru se­n­diri.

“Kami tidak membebankan ter­lalu banyak tapi Itu bukan se­bagai bentuk plonco, sebab ma­kanan yang mereka bawa nan­tinya dimakan juga oleh me­reka,” ujar Ronni.

Rektor UMSU, Agussani MAP menyebutkan Medan ada­lah kota pendidikan seperti ke­i­nginan Walikota Medan Ra­hud­man Harahap. Karenanya UM­SU siap dan sangat bersedia mewujudkan keinginan Wa­likota tersebut.

"Hal itu merupakan keinginan Walikota Medan. Jadi me­la­lui lembaga UMSU kami akan mem­bantu untuk mengapli­ka­si­kan keinginan walikota tersebut,” ucap Agussani di depan le­bih dari 7000 mahasiswa ba­ru UMSU.

Dengan tingginya jumlah ma­hasiswa baru tahun ajaran 2011/2012 menunjukkan be­sar­­nya minat dan kepercayaan ma­syarakat kepada UMSU. Pres­tasi ini merupakan tonggak sejarah tertinggi dalam se­ja­­rah perjalan UMSU, namun be­saran angka tersebut adalah se­buah tantangan untuk UMSU me­ningkatkan kualitas pendi­di­kan.

Pada kenyataannya, kini UM­SU terus memperbaiki m­u­tu tidak hanya dari sisi aka­de­mik tetapi juga nonakademik. Per­wujudan hal ini akan terju­wud dengan kerjasama oleh se­mua pihak yang berada di­ling­­kungan UMSU, mulai dari m­a­hasiswa, pegawai, dosen, de­kan dan rektorat.

"Walikota juga peduli ter­ha­dap UMSU,. Terbukti Jalan Am­p­era kini telah dilakukan pe­ng­aspalan sehingga jalur ma­hasiswa menuju kampus se­makin dipermudah," kata Agus­s­ani.

Walikota Medan, Rahud­man Harahap menyampaikan UM­SU bukan lembaga pendi­di­kan alternatif terakhir tetapi me­ru­pakan lembaga pendi­di­kan favorit oleh calon maha­sis­wa baru. Hal ini jelas ter­buk­ti dari total mahasiswa ba­ru yang sangat besar pada ta­hun ajaran 2011/2012.

Melalui moto UMSU, unggul, cerdas dan terpercaya bu­tuh kerja keras guna mewu­jud­kannya dan butuh peranan ter­penting dari semua maha­sis­­wa. Mulai dari belajar men­cin­tai diri sendiri dan kemudian akan memunculkan rasa me­miliki dan sayang didiri ma­ha­­siswa.

"Mahasiswa harus bisa meng­hargai para dosen, karena dengan menghargai dosen ju­ga sebagai awal yang baik me­raih kualitas pendidikan le­bih baik lagi. Saya juga tidak ingin mendengarkan adanya ak­si kekerasan di UMSU seperti di tempat-tempat lain," ucap Ra­hudman.

Dalam acara sambutan ma­ha­siswa baru tersebut terlihat ha­dir Koordinator Kopertis Wi­­­­­layah I Sumut/NAD, Prof Na­wa­wi Lubis, Kepala Dinas Pen­di­dikan Kota Medan Hasan Bas­ri dan seluruh civitas aka­de­mi­ka lainnya.

Kang Said: Komitmen ke NKRI, NU Tolak Pendirian Negara Islam









22/09/2011 19:21
Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama sebagai salah satu civil society dengan jumlah massa mencapai tujuh puluh juta orang, dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebaliknya, NU dengan tegas menolak keinginan sejumlah pihak menjadi Indonesia sebagai negara berlandaskan hukum Islam.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj, saat menerima kedatangan romongan dari Hizbut Tahrir Indonesis (HTI), Rabu, 21 September 2011. Dalam kunjungan tersebut, rombongan HTI yang dipimpin ketuanya Ismail Yusanto, menyatakan keinginannya untuk mengembalikan khilafah islamiyah di Indonesia.

"HTI mengakui itu sulit, tapi mereka masih berkeyakinan bisa mengembalikan khilafah islamiyah di Indonesia. NU terhadap keinginan tersebut dengan tegas menolak dan tetap berkomitmen terhadap keutuhan NKRI," tegas Kiai Said di Jakarta, Kamis, 22 September 2011.

Kiai Said menambahkan, komitmen NU terhadap keutuhan NKRI dikarenakan Indonesia masih masih bisa disebut islami, mengingat semua undang-undang yang diberlakukan tidak bertolak belakang dengan hukum-hukum Islam. Pancasila dianggap masih layak dijadikan dasar negara, karena isi yang terkandung di dalamnya juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.

"Selama undang-undang tidak bertentangan dengan (hukum) Islam, itu sudah bisa disebut islami. Artinya tanpa menjadikan Indonesia negara Islam, undang-undang yang diberlakukan sudah islami ," imbuh Kang Said, demikian Kiai Said masyhur disapa.

Komitmen terhadap keutuhan NKRI juga ditegaskan oleh Kang Said dengan maksud menjaga legalitas semua surat menyurat yang telah dikeluarkan berdasarkan undang-undang di Indonesia. Jika Indonesia diubah menjadi negara Islam, sama artinya dengan menganggap undang-undang yang saat ini ada dengan semua keputusan yang dihasilkannya tidak sah.

"Kalau kita tidak mengakui NKRI, bagaimana dengan surat nikah semua warga negara. Nah atas dasar itu juga NU menegaskan komitmennya terhadap keutuhan NKRI," ujar Kang Said.

Meski menolak keinginan Indonesia menjadi negara berlandaskan hukum Islam, NU juga tetap berkomitmen menjalin hubungan baik dengan HTI. Kedatangan rombongan HTI ke PBNU salah satunya juga dilakukan atas dasar keinginan menyambung tali silaturahmi.

Redaktur : Emha Nabil Haroen
Kontributor : Samsul Hadi

Jumat, 23 September 2011

PBNU Minta PKS Hentikan Perebutan Masjid










21/09/2011 20:06
Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal PBNU H Marsudi Syuhud meminta kepada Tifatul Sembiring agar pengambilalihan masjid-masjid NU yang selama ini ditengarai dilakukan oleh para kader PKS dihentikan demi persatuan umat.

“Bagaimana umat kita bisa bersatu kalau di lapisan bawah masih seperti ini,” kata Marsudi saat menerima kunjungan Tifatul Sembiring, Menkominfo yang juga kader PKS di gedung PBNU, Rabu (21/9).

Sejumlah kasus yang terjadi menggunakan modus munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya.

Hal ini menanggapi pernyataan Mantan Presiden PKS ini yang mendambakan tumbuhnya persatuan dan ukhuwah dikalangan umat Islam, karena jika yang dilihat perbedaannya, sangat banyak sekali sehingga untuk memecah Indonesia, akan gampang.

Tifatul menjelaskan, tak ada kebijakan resmi dari partai yang meminta pengambilalihan aset ormas tertentu untuk dikelola oleh kader PKS. Masukan seperti ini tidak hanya datang dari NU, tetapi juga dari ormas Islam lainnya yang merasa sarana ibadah dan umat yang telah dibinanya diambil alih. Ditegaskannya, PKS adalah partai, bukan aliran agama, yang kadernya berasal dari berbagai ormas Islam dan mengakui adanya khilafiyah.

“Kita berdakwah bagaimana Islam bisa dimakmurkan, tidak ada ambil ini-itu. Tak ada gerakan mencuri bedug,” katanya.

Ketua PBNU Iqbal Sullam yang turut dalam pertemuan tersebut meminta agar sasaran dakwah difokuskan kepada umat Islam yang saat ini masih dikategorikan “abangan” yang potensinya masih sangat besar. “Tak perlu mengobrak-abrik tatanan yang selama ini sudah ada,” kata Iqbal.

Kiai Said Aqil Siroj mengungkapkan banyak persoalan besar umat Islam yang harus difikirkan dan diatasi bersama seperti masalah kelaparan dan peperangan di Somalia, revolusi di Mesir, perang di Libya, Irak dan negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya yang sedang menghadapi masalah serius dan perlu bantuan. Perbedaan keyakinan, harus dihormati, apalagi yang sifatnya prinsipil seperti sejumlah amalan warga NU, yang oleh kelompok lainnya dianggap sebagai bid’ah.

Dakwah yang berhasil, menurut kiai Said, tidak dengan pendekatan halal-haram dan menyalahkan orang lain, tetapi dengan pendekatan kelembutan dan kasih sayang seperti yang dilakukan oleh Walisongo yang berhasil mengislamkan Nusantara.

Penulis: Mukafi Niam

Minggu, 18 September 2011

UMY: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Hendaknya Pertimbangkan Nilai Masyarakat








Senin, 12-09-2011

Yogyakarta- Indonesia merupakan negara yang memiliki pantai dan laut terbesar di dunia. Namun masyarakat pesisirnya kebanyakan masih hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat pesisir salah satunya melalui hukum atau kebijakan pemerintah yang mempertimbangkan budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Demikian disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr. Mukti Fajar ND di Kampus Terpadu UMY Senin(12/9) ketika menguraikan papernya mengenai ‘Community Development Policy Toward Poverty Reduction in Indonesia ; Case Study of Coastal Communities in the Southern Coast of Java Island’ yang akan dipresentasikan dalam 1st Organisational Governance Conference pada Kamis-Jum’at (15-16/9) di De Montfort University, Leicester, Inggris.

Paper tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan Mukti bersama dua rekannya Ahdiana SH., M.Hum dan Drs. Wihandaru MSi yang mengambil lokasi penelitian di beberapa pantai selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Lebih lanjut Mukti menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bagi masyarakat pesisir salah satunya dengan melakukan kerjasama dengan perusahaan dalam hal ini bank. “Dimana pelaksanaannya diwujudkan dalam program pinjaman lunak maupun mendirikan usaha kecil perikanan,”ujarnya.

Namun dalam penelitian yang dilakukan tersebut ditemukan beberapa permasalahan yang terjadi. “Masalah-masalah tersebut misalnya ada kesenjangan antara pendekatan formal kebijakan pemerintah dan perusahaan (bank) dengan aspek budaya yang masih dianut oleh masyarakat pesisir.Selain itu kondisi masyarakat yang masih tergantung pada kondisi alami laut sebagai dasar kegiatan perekonomian. ”urainya.

Kepala Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP3M-UMY) ini juga menuturkan dalam permasalahan tersebut hukum dalam hal ini kebijakan pemerintah atau peraturan perundangan seharusnya mampu mengarahkan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan bangsa. “Misalnya diwujudkan baik dalam peraturan nasional maupun daerah yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pesisir,”ungkapnya.

Dalam menentukan peraturan tersebut dalam pemaparan Mukti seharusnya ada pertimbangan-pertimbangan dasar misalnya dengan melihat budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. “Misalnya penyaluran dana dari pemerintah jika disalurkan melalui perbankan hal tersebut justru kurang maksimal. Karena pendapatan masyarakat pesisir mengandalkan hasil laut. Pendapatan mereka tidak dapat diprediksi. Jika cuaca baik maka penghasilan juga meningkat. Padahal dalam setiap bulan mereka belum tentu memperoleh penghasilan tetap. Sehingga jika melalui perbankan mereka akan kesulitan untuk mengangsur atau menyicil bantuan yang diberikan,”terangnya.

Menurut Mukti, akan berbeda jika bantuan tersebut disalurkan melalui koperasi. “Jika disalurkan melalui koperasi, tingkat keberhasilannya justru meningkat. Keberadaan koperasi tersebut juga terbukti mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir,”jelasnya.

Mukti berharap nantinya hukum atau kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dapat diterapkan berdasarkan budaya maupun nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. (www.umy.ac.id)

Aswaja Kedepankan Keseimbangan















14/09/2011 13:35


Sumenep, NU Online
Akhir-akhir ini banyak organisasi keislaman mengaku Ahlussunah wal Jamaah atau Aswaja. Padahal organisasi tersebut jauh dari nilai utama yanag diajarkan Aswaja, di antaranya tasamuh, tawasut.

“Berkembang luasnya gerakan keagamaan yang menyimpang dari ajaran Aswaja sangat meresahkan masyarakat. Sehingga kekerasan kerap terjadi seperti pada Jamaah Ahmadiyah. Ini karena kita tidak mengedepankan keseimbangan berdakwah.”

Demikian disampikan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur KH Miftahul Akhyar pada Studium General Orientasi Pendidikan Kampus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Selasa (13/11), di Aula Asy Syarqawi Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Tampak hadir pada acara tersebut, Ketua Dewan Masyaikh Pesantren Annuqayah sekaligus dan Rais Syuriah PCNU Sumenep, KH Ahmad Basyir AS, Dewan Masyaikh Pesantren Anuqayah KH. A. Warits Ilyas, Pembantu Rektor Instika KH A. Wasil Hasyim, Ketua Yayasan Pesantren Annuqayah sekaligus Ketua PCNU Sumenep H. A. Pandji Taufiq. Hadir pula Pembantu Rektor Instika Moh. Husnan A. Nafi, Dekan Fakultas Ushuluddin Ach. Maimun, dan lain-lain.

Miftahul Akhyar menyebut Hizbut Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, Islam Jamaah, Al Qaedah, Lembaga Kerasulan dan Ingkar Sunah adalah segelintir organisasi gerakan keagamaan yang seringkali mengaku-aku Aswaja, tapi ajarannya berbeda Aswaja NU yang mengedepankan keseimbangan.

Ia menjelaskan, gerakan politik Islam garis keras menghilangkan watak ajaran Islam, Aswaja lebih khusus lagi, yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.
Akidah Aswaja, kata Akhyar, adalah akidah yang seimbang. “Tidak ke kanan atau ke kiri. Bukan harokah yang alirannya keras atau libaral. Asas dasar tawasut, tasamuh, i'tidal, dan tawazun perlu senantiasa di transformasikan, sehinga menjadi kerangka berfikir dalam mengurai belenggu kejumudan pola pikir manusia,” jelasnya.

Sementara itu, Presiden Mahasiswa Instika Ach. Qusyairi Nurullah menyebutkan, sudah lima tahunan belakangan ini marak faham ekstrim yang mulai diajarkan pada generasi muda Islam, terutama pelajar dan mahasiswa.

“Tema Tantangan Madzhab Aswaja dalam Bingkai Indonesia yang kami angkat diharapkan dapat menangkis segala macam indoktrinasi yang tak selaras dengan visi-misi kampus yang berfaham Aswaja,” ujar Nurullah.

Redaktur : Hamzah Sahal
Kontributor : M. Kamil Akhyari

Senin, 12 September 2011

Ilusi Negara Islam Indonesia









12/09/2011 14:53

SOURCE : NU online


Judul : Hizbut Tahrir dalam Sorotan
Penulis : Muhammad Idrus Ramli
Penerbit : Bina ASWAJA
Tebal : 146 Halaman
Cetakan : Pertama, Jumadil Akhir 1432 H/ Mei 2011 M.
Peresensi: M Kamil Akhyari *)

Membincang kedudukan Islam dalam konstitusi dan negara Indonesia, sejatinya bukan hal yang baru. Perdebatan mengenai apa yang akan menjadi prinsip pembimbing bagi negara Indonesia sudah lama terjadi. Pada bulan Juni tahun 1945 telah terjadi perdebatan berkepanjangan saat konsultasi pemimpin nasional dengan ulama untuk merumuskan Pancasila sebagai asas negara.

Ketika merumuskan sila pertama sebagai prinsip yang akan dijadikan falsafah negara, sempat terjadi perseteruan untuk memasukkan tujuh kata tambahan pada sila pertama. Namun, diskusi berkepanjangan tersebut pada akhirnya sepakat untuk membuang tujuh kata tersebut atas pertimbangan Indonesia adalah negara yang majmuk dan plural.

Akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan dengan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, pengembalian Piagam Jakarta juga jadi perbincangan serius. Berbagai persoalan yang melilit negeri ini dan tak kunjung berkesudahan tambah meyakinkan aktivis Hizbut Tahrir untuk menegakkan syariat Islam dalam bingkai negara dan bangsa. Sebagaimana keyakinan mereka, Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya “obat” mujarab paling sakti yang dapat mengatasi segala macam “penyakit” yang sedang menghinggapi umat Islam, termasuk problem kemiskinan dan kebodohan.

Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara Islam di negeri ini, tak jarang mereka berdalil dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari mainstream pendapat ulama klasik.

Hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang fase-fase kepeminpinan yang disebutkan Rasulullah kerap kali dijadikan dalil khilafah al-nibuwah harus diperjuangkan dan ditegakkan dewasa ini. Padahal mayoritas ulama salaf telah menyatakan, maksud dari hadits yang mereka sering justifikasi sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah islamiyah adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah (hal. 8-9).

Tak hanya sampai disitu, dalam rangka tegaknya khilafah islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat, mereka kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir) terhadap seluruh umat Islam yang tak ikut memperjuangkan visi-misi Hizbut Tahrir tentang khilafah. Dimata aktivis Hizbut Tahrir, tak ada syariat (Islam) kecuali ada di negara khilifah.

Namun, pemurnian tauhid dalam bingkai negara Islam yang mereka usung tak berbanding lurus dengan konsep negara yang dibayangkan. Negara Islam yang mereka bayangkan adalah terbentuknya tatanan masyarakat yang religius dengan mengamalkan ajaran Islam sepenuh hati (kaffah), sehingga dapat mengantarkan kemajuan negara dan kejayaan umat Islam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Faktanya, fatwa-fatwa hukum Hizbut Tahrir tak mencerminkan terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius. Bahkan, fatwanya sering berbau mesum dan menebarkan dekadensi moral, seperti bolehnya jabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bolehnya laki-laki mencium wanita yang bukan mahram, bolehnya melihat aurat sesama laki-laki atau sebaliknya, dan bolehnya melihat mahram telanjang (hal. 117-136).

Padahal sudah jelas, dekadensi moral anak bangsa saat ini disebabkan karena pergaulan bebas yang tak terkontrol. Jika jabat tangan dan mencium lain jenis yang bukan mahram halal (tidak diharamkan), mungkinkan negara Islam dapat membentuk tatanan masyarakat Islam secara kaffah dan mengantarkan kepada kesejahteraan rakyat Indonesia?

***

Di tengah maraknya doktrin pembentukan Negara Islam Indonesia, buku karya aktivis Nahdlatul Ulama ini patut dibaca. Sehingga tidak mudah terjebak dengan simbolisasi agama yang sejatinya tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang beradab.

Dalam buku tersebut mengungkap dalil-dalil agama yang diselewengkan maknanya oleh Hizbut Tahrir berkaitan dengan khilafah. Tak jarang masyarakat awam terpesona dengan dakwah Hizbut Tahrir karena banyak mengeksploitasi dalil agama, sekalipun tak sejalan dengan ruh al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu a’lam.

*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Sumenep. Wakil Ketua PC IPNU Kab. Sumenep