Jumat, 08 April 2011

Potret Seorang Etnis Keturunan Yahudi di Surabaya







"Memilih Nyaman Dengan Islam dan Jawa"


Agresi militer Israel ke Palestina yang disertai gelombang demonstrasi anti-Yahudi di Indonesia membuat etnis Israel di Surabaya merasa was-was. Jika selama ini mereka sengaja menutupi identitas, kini mereka semakin menghindari hal-hal yang berpretensi memunculkan identitas mereka.

Sebagai kota besar dan multikultur yang dihuni beragam etnis, Surabaya tak lepas dari migrasi etnis-etnis dari luar kota maupun mancanegara. Salah satu etnis pendatang yang dimaksud adalah etnis Israel, atau lebih dikenal Bani Israel dan atau Yahudi. Berdasarkan investigasi Surabaya Post, diketahui sedikitnya terdapat 20 etnis Israel, termasuk keturunannya. Etnis yang identik dengan agama Yahudi tersebut bermigrasi sejak jaman kolonial Belanda dan menetap hingga kini.

“Nenekku asli Yahudi. Sebelum di sini ia ada di Baghdad,” kisah Haddasah, bukan nama sebenarnya, generasi ketiga etnis Israel bermarga Barr yang tinggal di Surabaya. Menurut Hadassah, neneknya bermigrasi dari Baghdad sesaat sebelum terjadi Perang Dunia II ketika sentimen anti-Yahudi merebak ke hampir seluruh benua.

“Nenek bersama saudara-saudaranya pergi ke Indonesia, tepatnya di Manado. Aku gak tahu kenapa, tapi ceritanya begitu,” lanjutnya. Dari Sulawesi, etnis tersebut pindah ke Surabaya dan tinggal di kawasan Pasar Besar.

“Nenek tidak bisa bahasa Indonesia. Sehari-hari memakai bahasa Israel (Ibrani, red) atau paling tidak bahasa Belanda,” ujarnya. Di masa kolonial Belanda, etnis Israel diperlakukan sebagai ekspatriat sehingga mendapat jaminan keamanan dan dana dari pemerintahan Hindia-Belanda. Itulah mengapa, lanjut Hadassah, neneknya lebih mampu berbahasa Belanda daripada bahasa Indonesia.

Hadassah menyebutkan setidaknya terdapat dua keluarga, yakni etnis Israel bermarga Barr dan Seyer yang tinggal di Surabaya. Meski begitu, tidak semua etnis Israel mencantumkan marga tersebut dalam Kartu Tanda Penduduk.

“Mereka lebih suka memasang marga dari pasangannya, atau tidak sama sekali,” lanjutnya. Sedikitnya jumlah etnis Israel di Surabaya membuat mereka melakukan perkawinan beda etnis. Karena itulah sistem kekerabatan beralih mengikuti pihak laki-laki. Marga baru bisa diketahui saat etnis tersebut meninggal dunia. Dari hasil investigasi di makam Yahudi di Kembang Kuning, didapat sejumlah marga seperti Seyer, Barr, Benjamin, Solomon, dan lain sebagainya. Di petak kecil itu juga nenek Hadassah dimakamkan bersama lima puluh etnis Israel-Yahudi lainnya.

“Sebenarnya Yahudi ama Islam tuh banyak kesamaannya. Makamnya harus menghadap kiblat dan dibungkus dengan kain kafan. Kalau muslim disemayamkan di masjid, nenekku dulu di Sinagogue,” kisahnya.

Praktik keagamaan yang mirip Islam itu tidak pernah dikenal publik. Etnis Yahudi di Surabaya sangat tertutup dan sengaja menghindari publikasi atau hal-hal yang membuat keberadaannya terusik. Hadassah membenarkan hal tersebut.
“Karena minoritas ya,” ujarnya.

Hadassah merupakan putri dari pasangan Jawa-Yahudi yang dibesarkan dalam kultur Jawa. Ibunya adalah seorang Yahudi asli. Sekilas, orang yang melihat tak akan menyangka ia keturunan Yahudi. Parasnya seperti gadis blasteran Arab. Namun jika orang mengerti makna atau asal namanya, pasti mengerti ia bukan keturunan Arab.

“Namaku (asli, red) memang terdengar aneh. Itu nama seorang pujangga Yahudi. Tapi pujangga Yahudi yang mana, abad berapa, aku nggak ngerti,” ujarnya.

Meskipun mempunyai ibu seorang Yahudi, Hadassah mengaku dibesarkan dalam kultur Jawa. Ayahnya membatasi dia dan saudara-saudaranya untuk seminimal mungkin mengenal kultur Yahudi.

“Dari kecil terdoktrin aku itu orang Jawa. Dan ayahku bilang budaya mereka (Yahudi, red) itu ga ada bagus-bagusnya. Itu terdoktrin ke aku juga,” ujar alumni salah satu Universitas Negeri terpandang di Surabaya itu. “Pas ada perang-perang gitu, ayahku pasti bilang, tuh lihat Israel, Yahudi, orangnya jahat-jahat. Kalau sudah begitu mamaku pasti bilang, lha mau bagaimana lagi, bukan mauku juga jadi orang Yahudi,” lanjutnya sambil tersenyum.

Hadassah mengisahkan saat kanak-kanak dirinya memiliki perbedaan fisik di antara teman-temannya. Rambutnya kemerahan, alis tebal membingkai matanya yang berwarna coklat, dan kulitnya tak lazim bagi anak Jawa.

“Saat SMP aku dipanggil bucep, bule cepak,” katanya.
Wajahnya yang khas membuat orang yang berkenalan dengannya ingin mengetahui asalnya. Apalagi nama Hadassah juga mengundang orang bertanya lebih lanjut.

“Waktu aku kecil, misalnya. Kalau kebetulan aku lagi ke mall, ada yang tanya namanya siapa, kok namanya aneh, orang mana? Ayahku langsung nyela, orang Jawa kok. Hal-hal kecil, tapi cukup baguslah untuk mendoktrin bahwa aku tidak ada keturunan Yahudi.”
Hadassah kecil tak sempat tahu apa yang dimaksud Yahudi. Ia hanya mengenal beberapa tradisi Yahudi dari ibunya.

“Ada kebiasaan-kebiasaan kita harus menaruh air seni kita di wajah. Soalnya mama dulu begitu. Tapi aku tidak mau,” tuturnya. Ibunya berkata hal itu wajib bagi setiap wanita Yahudi. “Mama bilang itu namanya mencium bumi. Tapi nggaklah, tidak ada logisnya buat sehari-hari,” lanjutnya.

Secara kultural, Hadassah dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Budaya ayahnya yang seorang Jawa mengharuskan ia mengkuti garis kekerabatan pihak ayah (patrilineal); sedangkan sistem kekerabatan Israel mengharuskan ia mengikuti garis ibu (matrilineal). Hadassah mengaku tidak mau ambil pusing dengan keadaan itu.
“Aku lebih suka jadi orang Jawa, meskipun sebenarnya gak bisa begitu juga, soalnya ibuku Israel,” ucapnya.

Dalam keagamaan, Hadassah dididik muslim oleh ayahnya. Meski begitu, ia juga sering diajak oleh mamanya di sebuah gereja Yahudi di Surabaya. Hal itu membuat ia merasakan konflik batin, terutama saat ia menginjak SMU.

“Aku tuh milih Islam itu proses. Nggak gampang sih. Ibuku non, kemudian ayahku yang muslim. Pasti ada kegamangan tertentu. Semakin besar itu SMA. Saat itu mulai aku sadar, apa yang harus aku pilih.”

“Kenapa Islam, karena aku merasa nyaman di situ,” jelasnya.
Hadassah juga menceritakan pengalamannya bertemu dengan komunitas agama Yahudi di Surabaya. Ia mengaku kaget banyak pemeluk agama Yahudi justru bukan dari etnis Israel melainkan Jawa.

“Sebel juga waktu mereka bilang, kita yang bukan yahudi saja rajin berdoa di hari sabath, kenapa mbak yang Yahudi asli ga pernah. Eh, itu kan pilihanku juga..” ujarnya. Hadassah menjelaskan bahwa tidak semua etnis Israel yang ada di Surabaya memeluk agama Yahudi. Sebagian besar memeluk Nasrani atau Islam.

“Yang masih Yahudi itu tante, yang mengurus Sinagogue di Jalan Kayun,” ujarnya.
Ditanya pendapatnya tentang banyaknya demonstrasi anti-Yahudi, Hadassah mengaku cukup was-was. Ia juga mengatakan kerabat dari pihak ibu memilih lebih berhati-hati, terutama saat doa sabath. Ia tak ingin kejadian yang dialami oleh Sarah, tantenya, turut menimpa dirinya.

“Tante Sarah yang di Sinagogue pernah dilempari batu dan rumahnya diancam akan dibakar,” ujarnya.

Karena itulah ayahnya selalu mengingatkan dia agar tidak membuka identitas Israelnya.
“Tuh lihat orang Yahudi. Kalau di luar, jangan bilang kamu orang Yahudi. Jadi seperti apa kamu nanti,” kisahnya.

Hingga kini, Hadassah yang bekerja di sebuah perusahaan asing itu mengaku masih menutupi identitas Israelnya. Setiap berkenalan dengan orang, ia tidak pernah mengatakan identitas dari pihak ibu itu.

“Melihat mukaku, banyak yang menebak aku orang Arab atau Pakistan. Aku cuma bilang aku orang Jawa. Bagiku itu sudah cukup. Aku nggak mau ribet,” pungkasnya.

Tidak terdata

Kecuali dalam buku “Masuk Kampung Keluar Kampung” tulisan Akhudiat yang sedikit menyebut komunitas etnis Yahudi di Surabaya, sulit menemukan informasi mengenai komunitas tersebut di Surabaya. Beberapa situs seperti Synagogue di jalan Kayun serta makam Yahudi di Kembang Kuning juga tidak memberikan keterangan apapun selain bukti bahwa mereka “pernah ada” yang ternyata memang “masih ada”.

Investigasi Surabaya Post ke beberapa Universitas yang memiliki program studi sejarah juga tidak mendapat data signifikan terkait diaspora, interaksi sosial, dan perkembangan etnis Israel di Surabaya. Etnis Israel tak tertera dalam peta sosio-kultural Surabaya, meskipun mereka sesungguhnya ada sejak masa kolonial Belanda.
Dosen Sastra Timur Tengah Fakultas Ilmu Budaya Unair, Mochamad Ali, S.S., M.A.Min mengatakan, tidak menembus komunitas etnis Israel dan agama Yahudi di Surabaya.

“Mereka sangat tertutup. Sangat eksklusif,” ujarnya. Dosen yang berguru bahasa Ibrani pada salah satu etnis Israel di Surabaya dan menulis penelitian Melacak bahasa dan asal emigrasi Yahudi di Indonesia: Sebuah kajian naskah Ibrani‘Berkhot syemayim’ itu mengatakan masyarakat harusnya lebih dulu mengerti tentang Yahudi sebelum memberi penilaian. Terlebih saat isu Yahudi merebak bersama perang Gaza akhir-akhir ini.

“Yahudi itu meliputi tiga aspek. Yahudi sebagai agama, etnis, dan politik,” ujarnya.

“Tidak semua yang Yahudi itu Zionis. Bahkan, di Amerika pun ada Yahudi yang muslim,” lanjutnya. Di Surabaya, pada khsusnya, dan Indonesia pada umumnya, lanjut Pak Ali, masyarakat belum sampai pada pemahaman seperti itu.

“Yang pasti, kita semua ingin damai, dan tidak ada kekerasan,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar