Minggu, 22 Mei 2011

Kolom: Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis BAGIAN 1










16/05/2011 12:51
ISLAMISME

SOURCE: NU ONLINE

H. As’ad Said Ali


Islamisme adalah tipologi ideologi besar kelima yang menjadi orientasi politik kelompok-kelompok gerakan di Indonesia paska reformasi. Empat tipologi ideologi besar lainnya (Kiri-Radikal, Kiri-Moderat, Kanan-Konservati dan Kanan-Liberal) beserta varian-variannya sudah saya sampaikan pada kesempatan sebelumnya; keempatnya itu bersumber dari pemikiran Barat. Kini akan saya kemukakan mengenai tipologi kelima yakni Islamisme.

Saya membagi paparan ini dalam dua bagian. Bagian pertama, mengenai varian-varian ideologi Islamisme. Bagian ini memberi gambaran umum mengenai ciri pokok ideologis, pandangan dan orientasi politik masing-masing varian, serta kelompok-kelompok gerakan Islam mana yang masuk dalam kategori masing-masing varian Islamisme tersebut berdasarkan ciri-ciri pokoknya. Bagian kedua, mengenai Islam non-mainstream. Bagian ini membedah lebih dalam taksonomi gerakan-gerakan Islam tersebut, yang saya batasi pada Islam baru, yaitu kelompok-kelompok gerakan Islam yang tumbuh sejak masa reformasi. Alasannya karena kelompok Islam mainstream, seperti NU, Muhammdiyah, Persis, Mathlaul Anwar dan sejenisnya, telah banyak diulas; juga karena gerakan Islam baru yang tumbuh diluar jalur mainstream tersebut kehadirannya secara sosial dan politik sangat fenomenal.

ISLAMISME

Islamisme sebagai ideologi politik pada dasarnya dapat dibagi ke dalam empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam tradisionalis-konvervatif, Tranformisme Islam, dan Islam fundamentalis. Seperti halnya tipologi ideologi besar yang bersumber dari pemikiran Barat, masing-masing ideologi Islamisme itu juga memiliki sejumlah varian.

1. Islam Modernis

Ciri utama ideologi Islam modernis adalah berusaha memajukan Islam melalui pengembangan gagasan-gagasan rasionalisme, liberalisme, dan modernisme. Ada yang berorientasi politik dan biasanya kalangan ini mengembangkan partisipasi politik demokratis di dalam masyarakat muslim melalui partai-partai; ada yang menempuh jalan kultural dan biasanya berkonsentrasi pada pengembangan masyarakat sipil dan menolak Islam-politik.

Secara umum dalam kelompok gagasan ini ada dua varian, yakni liberal dan radikal. Varian liberal dari Islam modernis percaya bahwa mereka harus mengambil posisi untuk melakukan sekularisasi politik dan ekonomi. Sekularisasi politik dilakukan dengan cara memisahkan agama dari negara; sementara sekularisasi ekonomi dengan cara memisahkan ekonomi dari negara. Contoh yang baik dalam varian ini adalah Paramadina, yang mendasarkan pandangan keagamaannya dan politiknya pada fikiran-fikiran Nurcholis Madjid. Mereka memandang bahwa negara merupakan segi kehidupan duniawi yang dimensinya bersifat rasional dan kolektif; sementara agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi. Dengan demikian mereka memisahkan antara kehidupan agama dan negara. Dalam hal ekonomi pandangannya cenderung kapitalistik dengan mendasarkan pada sebuah hadits yang berbunyi “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga”, yang ditafsirkan dalam perspektif Adam Smith sebagai invisible hands.

Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid demikian banyak dianut kalangan aktivis HMI dan kelompok modernis lainnya. Selain di NGO, para aktivis varian ini banyak yang aktif di dunia akademis dan partai politik. Sekalipun demikian, varian ini tidak mengagendakan gerakannya pada sebuah target politik tertentu yang didasarkan pada tesis politik-keagamaannya. Gerakan mereka tidak agresif, tidak terorganisir secara ketat, hanya bergerak mengalir sesuai perkembangan lingkungannya.

Contoh lain yang paling telanjang adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Para eksponen kelompok ini benar berasal dari kalangan tradisionalis (NU); namun dilihat pandangan-pandangannya mereka telah jauh dari tataran tradisionalisme. Dari segi pemikiran pada dasarnya mereka merupakan kelanjutan dari pemikiran Nurcholis Madjid dan kawan-kawan. Mereka memandang bahwa negara harus netral dari pengaruh agama apapun; sementara agama harus berada didalam wilayah privat. Tegasnya, menurut JIL, negara haruslah bersifat sekuler; negara adalah sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di tengah masyarakat untuk menjamin nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.

Sementara itu varian radikal dari modernisme Islam, sebaliknya menolak westernisasi dan sekularisasi. Penolakannya terhadap paradigma sekularisasi terutama terletak pada sifat deterministiknya, bahwa dunia harus dibebaskan dari nuansa keagamaan, dan mustahil sebuah masyarakat menjadi modern kalau tidak sekuler dulu. Inilah yang ditolak. Mengenai paradigma rasionalisme mereka menerima, bahkan baginya Islam harus dikembangkan dengan gagasan-gagasan rasionalisme. Varian-varian radikal ini banyak yang kemudian terjatuh menjadi fundamentalis anti-Barat. Contoh varian ini banyak kita temukan pada kelompok-kelompok Islam transnasional yang berkembang paska reformasi, salah satunya Ikhwanul Muslimin Indonesia. Islam transnasional yang saya maKsud adalah kelompok-kelompok gerakan Islam yang keberadaannya menjadi bagian dari gerakan Islam internasional.

2. Islam Tradisionalis-Konservatif

Ini adalah jenis ideologi Islamisme konservatif, meskipun secara politik bisa saja mengambil bentuk-bentuk modern atau fundamentalis. Inilah jenis Islam arus-utama yang menjadi basis organisasi-organisasi sosial keagamaan yang besar, seperti Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah selama ini memang disebut kelompok modernis karena sifat paradigma keagamaannya cenderung pada rasionalisme; namun dalam perspektif ini, ideologi politiknya adalah konservatif yang terlihat dari bahwa sikap dasar politiknya lebih mengedepankan sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan serta bisa berakomodasi ke dalam negara nasional. Sementara NU, sekalipun tradisi pemikiran politiknya selalu berubah sesuai tantangan yang dihadapi, namun pandangan dasarnya adalah tetap, bahwa prinsipnya negara dan pemerintah wajib ditaati dengan catatan sepanjang syariah dijamin dan kekufuran (pelanggaran terhadap hukum dan sejenisnya) dicegah.

Gerakan-gerakan keagamaan mainstream lainnya, seperti Perti, Persis, dan sejenisnya, masuk dalam kategori varian ini. Sikapnya yang bisa berakomodasi ke dalam negara-bangsa, barangkali berhubungan dengan kesejarahan kelompok-kelompok gerakan keagamaan arus-utama ini; bahwa NU dan Muhammdiyah misalnya, merupakan bagian dari organisasi-organisasi yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan dan pendiri negara-bangsa ini, dan oleh karena itu menjadi salah satu “pemegang saham” negara Republik Indonesia. Aspek kesejarahan demikian mendorong kelompok-kelompok gerakan ini dalam merespons kebijakan-kebijakan pemerintahan lebih mendasarkan pada cita-cita politik kebangsaan, dan NKRI adalah final. Karena itu varian tradionalis-konservatif ini juga cenderung a-politis mengenai isu politik sehari-hari dan memiliki preferensi untuk memilih gerakan Islam kultural ketimbang Islam-politik.

Varian neo-tradisionalis, sebaliknya cenderung menolak berakomodasi ke dalam entitas negara-bangsa karena mengingingkan entitas umat universal di bawah kekhalifahan dunia. Contoh yang paling gamblang dari varian ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun gagasan Pan-Islamisme semacam ini lebih sedikit muncul di kalangan tradisionalis-konservatif ketimbang yang muncul di kalangan fundamentalis. Masih dalam kategori varian ini, terdapat kelompok lain yang menolak berakomodasi ke dalam negara-bangsa tetapi, yang membedakan dengan kelompok yang disebut sebelumnya, kelompok ini tidak memiliki cita-cita politik tertentu, kecuali semangat pembentukan komunalisme global. Kelompok ini bersikap a-politis secara total karenanya preferensinya memilih gerakan Islam kultural ketimbang Islam-politik, dapat disebut disini misalnya Darul Arqam dan Jamaah Tablig. Tiga kelompok tersebut, Hizbut Tahrir, Jamaah Tablig dan Darul Arqam, ketiganya termasuk yang saya sebut sebagai Islam transnasional, dan keduanya merupakan Islam non-mainstream.

3. Transformisme Islam

Pengaruh pemikiran kiri di dalam Islam muncul di Indonesia di bawah payung Transformisme Islam. Dalam paham mereka ini, Islam harus menjadi kekuatan progresif dan transformatif dengan misi utama untuk menegakkan keadilan, membela sektor-sektor masyarakat yang marginal dan tertindas, dan melawan kezaliman dalam politik maupun ekonomi. Varian ini memandang modernisme dengan ideologi pembangunannya telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum miskin, dhu’afa dan mustadh’afin; dan pada gilirannya kemiskinan mengakibatkan banyak ummat manusia tidak mampu mengekspresikan harkat dan martabat kemanusiannya. Modernisasi melahirkan struktur sosial yang tidak adil dan terjadinya konsentrasi kekuasaan, modal dan informasi hanya pada sekelompoki elite, dan mereka inilah yang memonopoli kekuasaan dan mengontrol mereka yang tidak diuntungkan.

Gagasan-gagasan penting Islam transformis ditemukan dalam beberapa pemikiran aktivis Muslim yang bergerak di dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil maupun NGO seperti Moeslim Abdurrahman dan Masdar Mas’udi. Di tingkat internasional tokoh-tokoh seperti Ali Asghar Engineer (India), Ali Shariati (Iran), serta Hassan Hanafi (Mesir). Mereka berorientasi politik sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi.

Di Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif dalam partai politik. Mereka yang berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam.

4. Islam Fundamentalis

Sumber-sumber ideologis fundamentalisme di dalam Islam sangat beragam. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok neo-revivalis, karena mengagendakan kebangkitan hegemonis Dunia Islam. Dalam setting kontemporernya, akar fundamentalisme itu bisa ditelusuri pada permusuhan Barat terhadap dunia Muslim, misalnya sebagaimana dirumuskan oleh ramalan Huntington tentang clash of civilization. Mereka menolak sekularisasi, westernisasi, dan bahkan modernisasi. Penyebab maraknya fundamentalisme Islam adalah berkembangnya paham-paham keagamaan terutama yang dipasok oleh wahabisme. Mereka juga cenderung menolak demokrasi, dan kemudian bergerak di bawah tanah serta berorientasi sangat-politis dengan basis jamaah-jamaah yang eksklusif. Di kalangan tertentu gerakan-gerakan fundamentalis, mereka menginginkan tegaknya kepemimpinan politik universal.

Kelompok ini secara keagamaan disebut Salafi; mereka ingin menerapkan Islam sebagaimana kalangan salaf (kalangan terdahulu) dalam mengamalkan ajaran Islam. Mereka berusaha menggunakan metode (manhaj) salafy dalam memahami Islam dengan ciri utama kuatnya pendekatan tekstualis. Argumen seperti ini dapat kita temukan dalam setiap gerakan Salafi, baik itu pada masa kuno (masa sahabat nabi) ataupun masa modern sekarang ini. Kerangka gagasannya adalah penolakan terhadap realitas “sekarang” dan keharusan mengubah realitas, sesuai dengan keagungan dokrin (dengan mengambil sampel sejarah masa lalu yang dipilih paling sesuai dengan doktrin). Karena kuatnya referensi ke masa lalu, maka dengan sendirinya kurang memberi tempat pada pertimbangan realitas sekarang.

Secara simbolis, berkembangnya gerakan Salafi ini terlihat bahwa sekarang ini gejala yang nampak adalah adanya simbol-simbol baru Islam yang lazim di Timur Tengah, digunakan pula oleh masyarakat muslim Indonesia. Munculnya simbol ini seiring dengan pemahaman baru tentang Islam di mana wanita berjilbab misalnya, harus menggunakan cadar (penutup wajah), kalaupun pria berbaju putih dengan model celana panjang di atas mata kaki, plus janggut yang panjang. Penggunaan simbol, yang tidak memasyarakat tersebut, tentu saja bukan sesuatu yang mudah untuk diperkenalkan, kecuali memiliki militansi yang cukup untuk memperkenalkan simbol baru.

Gerakan tersebut tentu saja tidak sebatas simbolisme belaka. Di luar itu, masih terdapat sejumlah gerakan Salafi lainnya, seperti “gerakan Imam Samudra”, gerakan Tarbiyah, Hisbut Tahrir dan sebagainya. Apabila dicermati lebih jauh, benang merah dari beragam gerakan tersebut adalah gerakan yang tumbuh di Timur Tengah dengan ciri dominan, kuatnya interpretasi tekstualis. Meskipun demikian, sebagaimana disinggung di muka, model pemahaman gerakan salafi di Timur Tengah, tentunya tidak serta merta dapat digunakan dalam memotret gerakan salafi Indonesia. Selalu saja ada partikularisme. Hal ini semakin signifikan apabila melihat salah satu ciri gerakan salafi yang lebih tertutup dibandingkan gerakan Islam modern. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar