Kamis, 12 Januari 2012

Kamp Westerbork, Surga Pelarian Asal Maluku



Kamp Westerbork dikenal oleh orang Maluku sebagai Woonoord Schattenberg. Orpa Goergoerem tidak memiliki kenangan buruk atas masa remajanya di kamp ini. Pada penggalian terbaru di tempat pembuangan sampah kamp tersebut, tidak hanya ditemukan barang-barang milik orang Yahudi tapi juga milik orang Maluku. Penelusuran atas temuan-temuan tersebut pun membangkitkan banyak kenangan lama.
Pada 1939 Kamp Westerbork dibangun sebagai kamp penampungan bagi para pengungsi Yahudi. Pada 1942 tempat ini dijadikan kamp sementara bagi 107.000 orang Yahudi yang kemudian diangkut menuju kamp-kamp pemusnahan milik Nazi. Namun orang Maluku yang ditempatkan di kamp tersebut mulai 1951, hampir tidak tahu mengenai sejarah tempat tersebut.

Orpa Goergoerem, perempuan yang lahir pada 1952 di Woonoord Schattenberg, mengatakan, "kami tahu kalau sebelumnya orang Yahudi pernah tinggal dan bahkan meninggal di sana." 
Seperti halnya kebanyakan orang Maluku, dulu ayahnya bertugas di KNIL dan pada 1951, dan setelah kemerdekaan Indonesia orang tua Orpa dibawa ke Belanda.  
Mengenang korban meninggal
Orpa menuturkan, "setiap tanggal 4 Mei sehubungan peringatan para korban perang dunia II di Belanda, kami harus tinggal di dalam barak sejak pukul lima. Waktu itu kami benar-benar sebal. 
Orang-orang berjalan mengelilingi kamp dan setelah selesai kami diizinkan keluar lagi. Kami melihat banyak bunga yang diletakkan di sana dan kami pun mengambil bunga-bunga itu. Tentu saja hal itu dilarang, tapi waktu itu kami masih anak-anak."
Orpa masih ingat, generasi tua yang masih percaya roh halus selalu bicara soal "orang-orang asing" yang bergentayangan di kamp. "Jadi, kalau hari mulai gelap, saya masuk ke dalam", ceritanya sambil tertawa.  


Barak-barak yang lembab
Nama kamp yang telah "tercemar" ini diganti dengan "Woonoord Schattenberg". Namun selebihnya tidak ada yang berubah. Barak-baraknya memang diperbaiki sedikit, tapi instalasi listriknya jelek dan sering korslet.
"Barak-barak yang terbuat dari kayu itu tetap saja lembab", tukas arkeolog dan pimpinan proyek Ivar Schute.
Kenangan indah
Meski begitu, Orpa tidak punya kenangan buruk selama tinggal di tempat tersebut. Mereka selalu bermain di luar, menggali lorong-lorong bawah tanah atau menukar barang-barang dengan tetangga melalui lubang-lubang di dinding kayu. 
 Mereka memlihara babi dan ayam di dalam kompleks. Orpa punya seekor ayam yang selalu mengikutinya ke sekolah dasar di pinggiran kamp.
Pintu masuk sendiri
Setelah Orpa mengunjungi Indonesia, ia berpikir kalau orang tuanya pasti senang hidup di kamp ini karena di sana tidak ada aturan (seperti di Indonesia). Perpindahan ke sebuah pemukiman baru di Assen pada 1963 sungguh mendebarkan, tapi juga ada kekurangannya.
"Kami langsung sebal karena semua orang punya pintu masuk sendiri. Benar-benar nggak seru. Di dalam barak, anda bisa langsung masuk ke rumah siapa saja. Kami pun berbagi semuanya". 
Koper-koper
Arkeolog Schute heran karena sedikit sekali barang-barang khas Maluku yang ditemukan. Namun, memang sedikit sekali barang yang bisa dibawa oleh orang-orang Maluku. "Orang tua saya hanya membawa tiga koper dengan pakaian yang penting-penting saja". 
Seperti yang dilakukan keluarga Maluku lainnya, koper-koper tersebut diletakkan di samping tempat tidur. Siap untuk dibawa kembali ke Indonesia. Janji bahwa mereka hanya tinggal di Belanda selama setengah tahun, ternyata janji palsu.   
Botol-botol parfum
Menariknya, banyak ditemukan botol parfum di bekas tempat tinggal orang Maluku. Orpa menguatkan penemuan tersebut. Dalam setiap pemakaman orang Maluku, wanita menyiramkan parfum atau eau de cologne, sedangkan laki-laki menebarkan pasir di atas makam.
Ibu Orpa yang seorang Jawa berani mengambil inisiatif. Ia mengikuti kursus masak. Kemudian dengan uang yang didapatnya dari memasak, ia membeli panci-panci di Van der Veen, sebuah toko ritel di Assen. Satu kali seminggu, toko ritel ini menjual berbagai barang di lapangan kamp.
Selebihnya, Woonoord Schattenberg hanya memiliki satu tukang sayur dan tukang ikan. Untuk roti, sang tukang roti mengantar produknya ke ibu Orpa yang kemudian menjualnya di dalam kamp. Kerupuk buatan ibu Orpa sendiri dikeringkan di atas penghangat ruangan yang menggantikan fungsi perapian.

Acara menginap
Awalnya, hampir tidak terjadi pembauran dengan penduduk sekitar. Penghuni kamp baru keluar kamp kalau mau pergi ke sekolah menengah di Beilen. Pihak gereja juga mengadakan acara menginap di rumah-rumah keluarga Belanda di Emmen. 
Namun Orpa tidak menyukai acara menginap ini. "Mereka menyalakan lilin setiap malam, padahal di rumah saya terbiasa tidur dalam gelap. Di sana saya dapat kamar sendiri, tapi di dalam kamp saya terbiasa tidur dengan saudara dan orang tua saya dalam satu ruangan. Di sana saya hanya bertahan semalam".      
Janji yang dilupakan
Pada 1971 banyak barak yang dihancurkan paksa karena ada sejumlah orang Maluku yang tidak mau pergi. Mereka menganggap ruangan dalam kamp sebagai tempat tinggal terakhir mereka.
Penghancuran kamp juga membuktikan bahwa pemulangan ke Maluku yang dijanjikan dan dimimpikan telah dilupakan selamanya. Begitu juga dengan orang tua Orpa. Di rumah baru mereka di Assen, sampai akhir hayatnya mereka tetap meletakkan tiga koper di samping tempat tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar