Malam beranjak larut, jam dinding menunjukkan pukul 23.30 wib lebih. Gadis sintal padat berisi itu sedang menatap sekotak televisi 15 inchi dengan serius. Sementara pria yang duduk di kursi panjang dibelakangnya terlihat santai menghembuskan asap dari kretek, sembari berkata, “Tun, iku lho (Tun itu lho),” ia menunjuk ke arah cangkir kopi yang harus segera dicuci.
Pertengahan malam Mei itu nampaknya jadi hari tersepi bagi Sofiatun, atau biasa dipanggil Sofia. Bagaimana tidak? Hingga hari menjelang pagi, ia hanya terduduk di sudut ruangan sembari menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Meski ada dua rekannya yang mendapatkan ‘shift’ jaga berbarengan dengan dirinya. Mereka tak kunjung terlihat, “Lagi tidur dan ada yang sakit,” ujarnya lirih.
Coba tengok keseharian Sofia, gadis usia 19 tahun ini bekerja untuk warteg ‘Ridho Ibu’ milik Haji Noto asal Tegal, Jawa Tengah. Ia bekerja mulai pukul 21.00 wib hingga pukul 13.00 wib. Setengah jam sebelum bekerja ia harus memanaskan beberapa menu hidangan yang siap disajikan pada pembeli.
Sudah dua bulan ia bekerja sebagai penjaga warung tegal di bilangan Tebet Jakarta Selatan. Sebagai penjaga warung makanan khas Tegal, posisi pekerjaan yang ia jalani sebenarnya mengganti teman yang sedang dialihkan ke warung cabang lain di wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Istilah ini beken disebut rolling, oleh kebanyakan para pemilik warung Tegal di seantero Jakarta.
Keberadaan pekerja warung Tegal beriringan dengan menjamurnya usaha kuliner asal propinsi Jawa Tengah. Bagaimana tidak? Warung makanan yang terbilang cocok untuk ukuran fulus kebanyakan kaum urban Jakarta. Tiap tahun jumlahnya makin bertambah. Seiring dengan peningkatan perkembangan taraf hidup di Jakarta.
Meski usaha warteg terbilang telah ada di Jakarta sejak tahun 1970-an. Dan omzet yang diperoleh bisa berkisah diangka puluhan juta rupiah. Namun, tak semua pekerja mendapat cipratan rejeki sebagai pekerja warteg.
Rata-rata pekerja warteg mendapat upah yang sebenarnya bisa dibilang tidak layak. Khususnya untuk hidup di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok di seantero
Sofia yang bekerja sebagai penjaga warteg mendapat upah sebesar Rp 400 ribu per bulan. Namun, upah itu baru bisa ia ambil setelah tiga bulan mendatang. Begitulah perjanjian yang ia sepakati dengan pemilik warteg saat ia diboyong dari kampung asalnya Adiwena, Tegal, Jawa Tengah ke Jakarta.
Sepanjang ia bekerja, baru sehari ia minta ijin untuk menengok kakaknya yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Kebetulan, kakaknya yang tinggal di Depok pun membuka usaha serupa, warteg.
Ia dan kelima rekannya baru bisa mendapat jatah liburan menjelang Lebaran. Itupun hanya seminggu, usai itu ia dan rekan-rekannya harus balik lagi ke pekerjaannya semula. Sofia pun tak perlu pusing-pusing memikirkan dimana ia harus tinggal. Sepanjang ia bekerja selama ini ia bisa tinggal dan beristirahat di lantai dua gedung tempat ia bekerja. Dan fasilitas itu sengaja disediakan pemilik warteg untuk penghematan biaya bagi pekerja warteg.
Untuk pengembangan sayap usaha baru Haji Noto rencanaya akan membuka cabang baru disekitar daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan. “Mungkin sekitar bulan Juli,” terang Rachmat salah satu pekerja pria di warteg tersebut.
Memang, bagi kebanyakan pekerja di warteg, faktor pendidikan adalah penentu besar kecil upah yang mereka terima. “Rata-rata pekerja disini kebanyakan tamatan SMP. Bahkan ada yang cuma lulus SD,” imbuh Rahmat polos.
Tak heran bila pekerja di warteg banyak yang keluar masuk, “Kita juga nggak bisa maksa mas. Ya cocok-cocokan aja, mungkin dia pingin balik kampung gara-gara nggak betah,” cerocos Rahmat dengan aksen Tegal yang khas.
Tapi itu tak berlaku bagi Sofia, gadis yang memiliki cita-cita ingin menjadi pengusaha sukes itu ingin apa yang ia kerjakan tak sia-sia. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini mengatakan dalam kertas yang disodorkan, “Gue sih nggak muluk-muluk, gue seneng jaga malam karena lebih santai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar