Selasa, 22 September 2009

WAR AGAINST WHO?


'Kenyataan Dalam Dunia Fantasi'
Koil Band 

Nasionalisme..
Di negara ini kita hidup dan bekerja
Di negara ini kita makan dan berbahagia
Di tanah yang indah ini bersemilah cintamu yang abadi
Di negara busuk ini kita tersenyum pedih

Kita membicarakan kenyataan
Dalam dunia yang tak kumengerti
Kita membicarakan kepasrahan
Dalam spektrum yang hitam dan putih
Kita merasa benar-benar pintar
Memasyarakatkan kebodohan ini
Kita membicarakan kenyataaan dalam dunia fantasi

Dalam dunia fantasi...
Aku tak butuh pengertianmu...
Aku bukan bagian dari sejarah yang kau tulis
Kau bingkiskan untuk anak dan cucumu
Aku tak butuh penjelasanmu...
Aku bukan bagian dari kebanggaan
Yang membuat kita tak berpenghasilan

Nasionalisme adalah tempat tinggal yang kita bela
Nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan
Nasionalisme untuk negara ini menuju kehancuran
Nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran

N a s i o n a l i s m e…, Untuk negara ini adalah pertanyaan
N a s i o n a l i s m e…, Menuntun bangsa kami menuju kehancuran

***
Teriakan gahar sekelompok anak muda yang tergabung dalam kelompok musik asal Jawa Barat tadi terasa unik. Bagaimana tidak? Satu kali saat mengantar /take/ vokal teman-teman dari grup KACA BENGGALA di bilangan studio Depok. Minggu malam lalu hujan rintik-rintik mengguyur habis deru motorku. 

Begini ceritanya, keluar dari Kelurahan Perdatam Pasar Minggu sembari bersuit dan bersenandung pelan aku lagukan perlahan lagunya Koil. Band yang sedang naik daun (bukan burung loh! :-) ), lantaran aksi panggungnya mirip dan kerap membawakan style-nya Marylin Manson. Koil, dikenal dengan dandanan ala kerajaan pagan GOTHIC eropa kuno yang selalu dalam lirik menggaungkan ketidakberesan dalil-dalil hidup kaum atau individu. Tentu dari sudut pandang yang berbeda. Paduan antara komersil dan kapitalisme yang beredar di negeri negara ini. 

Melewati jalan sekitaran Pasar Rebo, lalu meluncur deras ke kawasan 'crowded' Jakarta Timur. Sekira jam 08.30, yang kulihat sekelilingku adalah kemacetan dan kesemrawutan yang menggila. Entah dipicu apa tiba-tiba pikiranku terasa menggeliat, "Apakah ini kemajuan dari demokrasi? Jangan-jangan ya democrazy," Adu kencang-kencangan klakson motor dan mobil: tat, tet, tot, bau busuk dagangan ikan yang digelar sepanjang jalanan, kebulan asap knalpot motor dua tak yang membumbung lebat, ligatnya air hujan serta becek di kanan kiri nan menggila. Belum lagi satu hingga berpuluh manusia sekaligus buruh yang mencegat angkot yang makin melengkapi kekacauan malam ini. MARVELOUS!!!

Tentu aku 'gedek' dengan pemandangan kusut bin ancur ini. Aku lantunkan perlahan lagu Koil. Pelan tapi lambat begitu melegakan isi dada. Namun lama kelamaan lagu Kenyataan Dalam Dunia Fantasi Makin menggila. Nikmat di tengah keramaian. 

Memasuki arah jalan bebas hambatan (fly over) sebelum Cijantung, hasil dari demokrasi makin mengheboh... Setengah gila aku menikmati pemandangan kelompok muda-mudi sedang berpelukan dengan mesra dan hangat. Tempat mengadu kasihnya pun tak tanggung-tanggung, di atas jalan tol cing! Wealah... 

Pemandangan itu makin indah dengan banyaknya umbul-umbul partai-partai kontestan yang mengadu untung dalam pemilu dua bulan mendatang. Yang makin membuat pemandangan tambah jenaka, tepat di atas jalan layang tersebut, terdapat bendera partai beken mengusung simbol muslim. Dan tepat di bawah kibaran bendera partai yang didominasi warna putih, hitam plus kuning itu, dua muda mudi tampak hangat mematut pemandangan kerlap-kerlip lampu jalanan bawah tol. Keduanya makin 'panas' saat tangan sang kekasih menyelusup ke bagian dalam baju cewek. Apesnya, cewek itu pun memakai jurus gemulai manja demi menikmati pagutan kasih singkat keduanya.

Tawaku dan temanku, kibordis KACA BENGGALA, Egi, meledak. Gila... partai pengusung kesejahteraan men, tepat dibawahnya tampak pasangan lain jenis di bawah umur nampak 'sejahtera'. Kakakak.... Begitu puasnya aku melihat kecenderungan anak-anak sekarang. Motor kupacu sedang menuju studio di bilangan Depok. 

Dalam perjalanan malam itupun aku dan Egi saling bersenandung gila. Aku membawakan Koil, sedang Egi, lantaran belum lama di Jakrta, dengan malu-malu kucing bersyair dengan spoken English-nya. Blepotan juga sih, meski modalnya semangat. "Bang Andre, Egi punya syair baguskah?" Egi setengah berteriak dengan aksen Gorontalonya yang kental. "Not bad..." balasku. Tapi jujur, syairnya malam itu nggak jelas apa yang disyairkan. Karena skill kibornya yang ciamik saja aku jadi nggak enak mengkritisinya.

Egi tiba-tiba bertanya,"Bang Andre ada bule?" Gila darimana ada wanita bahenol muncul di tengah rintik hujan. Beda usia yang menyebabkan naluriku cepat tanggap. "Egi lihat aja, cem mana harim itu di depan," motor kulajukan lambat. "Astaghfirullah... banci Bang Andre...." teriaknya lantang. Tawa kami meledak. 

Perjalanan agak panjang, kami pun berkisah kembali. "Apa ini yang dinamakan modern Bang Andre," Egi sempat bertanya. "Ya... bisa jadi,"jawabku sekenanya di tengah hujan konyol. Mungkin satu saat aku percaya kalau negara ini memang sudah 'gila' dengan DEMOKRASI dan keterbukaan. Tak salah jika keterlibatan kaum-kaum 'menyimpang' di tengah kaum normal alias wajar harus diberikan ruang dan tempat. Demokrasi yang menurut Egi, remaja setengah dewasa adalah keterbukaan absolut. "Mak jang, abis negara ini kalau Egi ada pikir dorang seperti mereka ikut di DPR," sahutku setengah yakin.

Nah, aku sadar bahwa selama ini yang namanya demokrasi ternyata unik sekaligus lucu. Saat wilayah liputan sedang di DPR. Kerap kulihat rapat-rapat hingga malam di DPR nggak jelas juntrung-nya. Itu yang kualami saat awal-awal aku liputan di sana. Namun, seiring perjalanan waktu, aku sadar. rapat-rapat marathon tadi adalah trik untuk pembahasan undang-undang yang alot. Apalagi kalau UU tersebut tidak diguyur dengan fulus yang bejibun. 

Nah, dari sekedar wacana hingga jadi UU. Jelas sekali terlihat, bilangan mayoritas partai di DPR akan setuju dengan satu atau beberapa produk UU bila fulus yang diguyur peng-order segunung. Pemikiran seperti ini yang sempat membuat remaja seusia Egi sempat berkata tegas, "Egi gak milih tahun ini Bang Andre, dorang samua di sana (DPR) penipu" Nah lho.... 

Kata-kata anak baru kemarin sore semacam Egi kadang menggelikan. But, mereka adalah bibit-bibit potensial, sasaran propaganda parpol-parpol tengik yang menyuarakan bahwa di produknya semua urusan hajat hidup manusia di negara ini pasti akan dipenuhi. Mulai sajadah sampai haram jadah, komplet. Dan mereka para kandidat ramai-ramai merayu, merajuk para pemilih-pemilih muda yang memang 'ijo' dalam urusan politik. Apalagi bicara demokrasi. Persepsi itulah yang mungkin ada di kaum pemilih muda saat ini. 

Tentu kekhawatiran para komprador-komprador partai kontestan dengan munculnya individu, atau kelompok yang ogah nyoblos bisa menjadi batu sandungan yang nyata. Bagaimana tidak bila 40 persen saja dari dua ratus juta warga negara (yang ber-KTP) di negara ini tidak nyoblos. Peristiwa ini bisa ditafsirkan oleh rezim yang nantinya akan duduk manis plus mlenggalng kangkung di senayan, mereka (pemerintahan) tidak didukung sebagian besar warga negara ini. Asyiknya, justru saat ini fenomena golput itu dibiarkan sekaligus subur lantaran hasil dari demokrasi rupanya sekedar ilusi di siang bolong buat si fulan yang lapar saja. 

Lalu bagaimana jika di kemudian hari muncul Egi-Egi lain yang bisa kritis bukan karena buku tapi fakta dan kenyataan. Maybe... Only God can be answer it.... Apalagi dengan kejadian di malam minggu lalu, aku semakin antitesis dengan dalil bahwa demokrasi adalah resep mujarab dari satu rezim totalis sekaligus militeris. Meski banyak tentangan, kecenderungan-kecenderungan budaya korupsi yang menjadi produk komersil yang ditayangkan banyak media massa saat ini adalah FAKTA DAN BUKTI YANG TAK DAPAT DIBANTAH dari era absolutely freedom dan demokrasi. 

Perjalanan melewati bilangan kitaran jalanan Depok yang dipenuhi dengan bangunan manufaktur-manufaktur yang memproduksi segala hajat manusia. Hanya, saat aku melintasi kilometer tertentu. Pemandangan yang dipagi harinya dipenuhi lalu lalang truk bermuatan berton-ton produk, dan buruh yang hilir mudik mencari makan. Di malam hari berubah wujud, lokalisasi kedai khamar dadakan. 

Meski hanya sepintas lalu. Tempat nongkrong tadi lumayan ramai. Iringan musik dangdut cabul plus vulgar membahana bebas. Belum lagi aroma, penerangan temaram serta teriakan wanita-wanita penghibur di dalamnya, yang aku yakin, menggelitik naluri laki-laki. 

Sebagai warga Depok aku baru tahu kisaran jalanan tadi bisa berubah wujud. Tapi inilah Demokrasi Bung, semua wajar dan sah. Asal fulus bisa dicecar lancar. Tak peduli tepat di sebelah kafe sedang menggelepar ringan pemuda buntung picisan. Show Must Go On! 

Perjalanan kami akhiri, tepat di sebuah bangunan berbentuk pabrik bangkrut. Aku simpan semua kekonyolan itu dalam kantong sampah. Memasuki pabrik bekas, pergulatan nasib sekaligus perang melawan kejayaan isi kantong dan rekening yang sedang kempis, kini sedang jadi pertaruhan. 

JAKARTA.....
ADIOS AMIGOS.... SCUMBAG TEMPE GORENG!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar