Sembari melihat suasana kanan kiri toko, satu dua anak kecil terlihat berlari tak jelas arah. Hanya tinggal beberap detik. Ia melangkah maju. Cuma beberapa detik peristiwa itu berlangsung. Bet.., sepotong roti segenggaman buku saku aman di saku kantong lusuh.
Pencurian itu telah berlangsung sukses. Rupanya kejadian sepuluh tahun silam begitu membekas dalam di jantung kepalanya. Bagaimana tidak impian untuk hidup bak selebriti telah menjadi sebuah keharusan saat ia pertama kalimendarat di kaki Jakarta.
“Jangan sekali-kali pulang sebelum sukses,” si kurus putih teringian pepatah sakti sang ayah di Gorontalo. Ya, mantara ajaib itu yang membuatnya rela tak pulang saat setahun kemudian anaknya sedang sekarat lantaran sakit yang tak jelas.
Bercita-cita ingin menjadi pesepakbola beken. Nasib tak tahunya membelokkkan arah peruntungannya. Lantaran terbiasa mendengarkan musik tradisional setempat saat kecil.
Dari situ ia akhirnya menemukan keajaiban bunyi. Mau tak mau ia mencari asal bunyi tersebut hingga akhirnya ia terbiasa dengan bermain gitar ala kadarnya.
Di Jakarta ia kerap bermain dengan musisi-musisi manapun. Istilahnya ‘raja di rajanya’ kafe atau pub kelas hotel lima di seluruh pelosok ibukota. Meski tak sepenuhnya dalam hitungan seminggu job selalu ada. Ia harus berlari, istilahnya untuk lebih trengginas dalam mencari celah agar tak vakum dalam urusan periuk dapur.
Cerita dan berbagai kisah yang seru memang sering kutemui. Mulai dari yang sekedar survive hingga di kemudian hari menghalalkan cara busuk pun dijadikan standar untuk mencari beberapa lembar fulus kertas yang bernama rupiah. Mungkin kawan-kawanku yang terhitung belum insyaf ini tak sadar dengan dampak jelek di belakang hari.
Aku datang ke jakarta, sekitar tiga tahun yagn lalu. Meski kelahiran ibukota, ayahku harus berpindah dinas. Sebagai pegawai negeri yang harus ‘sendhika dhawuh’ dengan gertakan pimpinan kantor dimana ayah berdinas. Perintah itu mengharuskan aku beserta adik lelaki kecil yang belum genap bicara harus angkat kaki dari Jakarta pertengahan tahun 1988.
Beda dengan Utox, bila di tahun 1989 tepat berselang setahun kami pindah ke Surabaya, Jawa Timur. Ia dan kawan-kawanya telah memainkan ‘Huma Di atas Bukitnya’ God Bless. Aku hanya bisa mendengarkan alunan kharismatik Joe Cokker, When The River Flow.
Minggu-minggu April ini suasana Jakarta sering berubah, bisa jadi lantaran musim orang buang duit karena pemilu telah tiba. Bisa jadi karena musim penyakit orang miskin tengah bergentayangan lebat, kalau bukan karena pilek, batuk berdahak pun jadi. Nah, suasana di sekitar tempat tinggal utox pun demikian.
Diantara sisa teman kami yang masih nekat belajar nuansa musik serius. Mau tak mau urusan fisik pasti dijamin kedodoran. Ujung-ujungnya, kami yang di sering nongkrong di rumah utox pun pasti akan tertular virus picisan tersebut.
Kegiatan sehari-hari kami, bila tak ada ritual liputan -sebagai kacung perusahaan media cetak-, analisa musik sekalian bercerita tentang apapun yang terjadi di hari ini. Nah, untuk kegiatan kisah berkisah ini pasti akan terjadi di malam hari.
Kisah-kisah temanku, pemusik, yang kujuluki pejuang nasib nada memang rada seru. Sebut contoh, Breket. Pria flamboyan asal Gorontalo yang baru saja sukses menggamit Ibanez RG milik utox. Bermodal kalimat rayuan maut, semisal, “Tox, ini ana punya depe,” sembari menyerahkan tiga bungkus kopi susu. Sorot matanya terlihat berbinar sembari melirik bodi bahenol gitar elektrik yang sedang ia incar.
Breket, sebenarnya mempunya nama panjang yang cukup aduhai, Said Brekat. Namun lantaran profesinya di dunia hiburan mengharuskan ia punya nama yang gymick. Mau tak mau demi komersil profesi. Ia harus mengubah namanya menjadi Dias Breket atau kadang kala dengan Breket VC. Namanya sebenarnya berasal dari bahasa arab, barokatu. Tapi dasar naluri pingin tenar, Breket adalah sebuah merek bagi Bang Breket.
Utox dan Breket, keduanya punya kisah tragis di tengah ibukota. Cerita ini terjadi saat keduanya tengah mencari koneksi. Apapun bentuk perjuangan mereka. Utox, selain mencuri roti lantaran selama empat hari hanya minum air putih saja. Demi pertahanan hidup yang sudah kritis, ia sempat menggelandang ke sudut-sudut Jakarta.
Langkah itu ia lakukan karena memang untuk perantau seperti dirinya aturan langkah pembuka bukan karena bantuan belas kasih saudara atau koneksi sama sekali tak dimilikinya. Padahal saat itu kemampuan bergitar utox sudah di kenal luas di Gorontalo sebagai ‘dewa’. Hanya saja, saat tiba di Jakarta, gitar sebagai senjata wajib bagi para gitaris, tak dimilikinya. Walhasil perbuatan-perbuatan yang tergolong kriminil pun jadi. Dalih pembenaran patut diberikan sebab saat itu, bisa jadi, mata Dinas Sosial negara
sedang buta karena banyaknya duit pajak dari pedagang, hingga mafia ramai-ramai masuk ke kantong pejabat-pejabat korup.
Untuk Bang Breket, kisahnya malah lebih sadis. Satu saat ia sempat terserang penyakit malaria. Apesnya saat itu Bang Utox, sedang balik kandang ke Gorontalo lantaran sebuah proyek lagu daerah yang tak komersil. Ujung-ujungnya, karena tak punya teman seorang pun di Jakarta. Dan deraan malaria yang menggila, demi mempertahankan hidupnya. Ia hidup dan makan dari sisa-sisa makanan buangan tempat sampah orang-orang atau karyawan tengil kantoran yang sudah teronggok di tempat sampah. Beruntung, karena perjuangan gilanya ia pulih dari malaria nan mengkudis….
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar