Selasa, 17 Januari 2012

Asal Usul Reog Ponorogo











Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural.

Barung mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung.

Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah.

Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal muasal kesenian Reog Ponorogo. Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit.

Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Batera Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan.

Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian reog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.

Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reog Ponorogo bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah kelahirannya saja. Biasanya satu group Reog terdiri dari seorang wWarok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.



Kedasyatan Reog Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa sempat membuat sertifikat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an untuk mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra cabang kesenian reog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada pemilu. Kemudian Bren Barisan Reog Nasional atau BRP atau Barisan Reog Ponorogo milik Tegak. Hal ini membuat Reog Ponorogo dalam perkembangannya nyaris tiba jurang kematian.

Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP dibubarkan dan imbasnya membuat reog-reog lain ikut ujungnya. Ribuan unit reog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput.

Beruntung di akhir 1976, Reog Ponorogo kembali dihidupkan dengan pendirian INTI (Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini, banyak pelaku seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah reog menjadi milik rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan tertentu. Reog Ponorogo terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah pengembangan bentuk dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan. Terutama dengan menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian reog dalam bentuk konterporer.

Ini soal kesenian yang terlanjur dicap berbau mistis ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival rutin tahunan terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan kesenian itu sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.

Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini.

Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian reog. Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.

Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan minuman keras dan dunia preman.
Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju kesana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga.

Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya.

Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.

Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.

Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.

Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban darak merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 40-an kilogram selama masa pertunjukan.

Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat.

Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.

Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan kelangsungan kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan membuat pemuda di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berreog. Apalagi menjadi pembarong.

Namun kini sudah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit demi sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional. Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan cedera.

Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan meninggalkan profesinya.

Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal penggunaan kekuatan gaib dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional.

source: http://ponorogoo.blogspot.com/2007/07/sejarah-reog-ponorogo.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar