(Duta Besar Belanda saat menyerahkan ganti rugi pada keluarga korban pembantaian Rawagede, Karawang)
“Sekarang giliran Indonesia minta maaf atas kekerasan pada zaman Bersiap. Kakek saya seorang Indo Belanda menceritakan kekejaman para pemuda (yang dipanas-panasi Bung Tomo) membunuh para korban kamp interniran dengan bambu runcing dan klewang, tangan dan kaki dipotong dan dibuang ke kali.”
Demikian seorang penulis di situs web kelompok Indo Belanda (kalangan berdarah campuran Belanda-Indonesia), yang tergugah menulis kekesalannya setelah Belanda menyatakan maaf dan memberi ganti rugi kepada para janda korban pembantaian Rawagede.
Bukan orang Indonesia saja yang menjadi korban kekerasan saat perang kemerdekaan, para pemuda ekstrem juga beraksi terutama terhadap warga Indo Belanda. Demikian bisa dibaca pada situs web mereka.
Zaman Bersiap
Diskusi sekitar kekerasan yang terjadi pada zaman perang kemerdekaan lebih dari setengah abad lalu tidak saja dilakukan di situs web. Koran Belanda Trouw dan NRC Handelsblad memuat surat pembaca yang meminta perhatian untuk apa yang dialami kalangan Indo Belanda setelah Jepang takluk.
Bukan Orang Indonesia Saja Jadi Korban Kekerasan
Di Indonesia terjadi kekerasan oleh berbagai kelompok pemuda radikal terhadap orang Indo Belanda. Periode berdarah ini masuk buku sejarah Belanda sebagai zaman Bersiap. Tidak banyak orang di Belanda tahu zaman Bersiap ini.
David Barnouw, sejarawan Lembaga Dokumentasi Perang Belanda NIOD, menjelaskan yang dimaksud dengan Bersiap adalah periode sekitar 17 Agustus 1945 sampai awal 1946. “Periode penuh kekerasan, tidak ada yang berkuasa, kelompok-kelompok para-militer, para kriminal membunuh orang Indo Belanda dan Cina. Orang Belanda totok masih aman di kamp interniran,” demikian David Barnouw.
Tidak disinggung
Geert Prins, redaktur majalah orang Indo Belanda Moesson, setuju di Belanda tidak banyak orang yang tahu mengenai periode penuh kekerasan ini. Ia menambahkan tentu saja zaman Bersiap ini lepas dari apa yang terjadi di Rawagede. Rawagede adalah kejadian yang berbeda dan sangat mengerikan.
Geert Prins berpendapat apa yang terjadi di zaman Bersiap masih mendapat perhatian besar di kalangan pembaca majalah Moesson. Yang mencolok, mereka jarang mengeluh atau menceritakan pengalaman ini.
Moesson, demikian Geert Prins, pernah mewawancarai para korban Bersiap, antara lain bibi pemimpin redaksi Moesson Marjolein van Asdonk. Ia sangat menderita secara psikis sampai sekarang. Dan anehnya tidak ada orang yang tahu, juga anak-anaknya.
Ketika ditanya mengapa hal ini tidak pernah disinggung? Jawabannya: “Orang toh tidak akan mengerti.”
Anarki
Lalu apa latar belakang kekerasan terhadap warga Indo Belanda ini? Sejarawan Universitas Negeri Malang, Hariyono yang meneliti periode sejarah Indonesia ini menjelaskan:
“Konteks yang harus dipahami adalah siapa yang membunuh, tentara yang terlatih oleh pemerintah, atau para gerilyawan yang belum terkendali dan terorganisir oleh pemerintah RI. Rakyat melampiaskan kekecewaannya sekaligus kemarahannya, ketika menghadapi pasukan Belanda maupun orang-orang Indo Belanda dengan melakukan kekerasan.”
Hariyono menyamakan kekerasan massal ini dengan kekerasan setelah reformasi pada tahun 1998, rakyat yang kurang terdidik kemudian mengadakan aksi anarkis. Inilah konteks budaya dan politik yang juga terjadi pada awal revolusi kemerdekaan Indonesia terhadap kalangan Indo Belanda.
Jangan dibandingkan
David Barnouw, sejarawan NIOD, Lembaga Dokumentasi Perang Belanda, menolak persamaan Rawagede dengan zaman Bersiap. Dalam kasus Rawagede jelas siapa pelakunya, sekelompok tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor.
Kemudian susah juga menuntut maaf dari Indonesia untuk zaman Bersiap, karena pada gilirannya Indonesia akan menuntut minta maaf juga, berlanjut sampai kapan? “Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang membantai rakyat Banda, apakah pemerintah Belanda harus minta maaf juga?” Demikian David Barnouw.
Kelompok Indo Belanda yang mengalami kekerasan pada zaman Bersiap tidak minta ganti rugi, demikian Geert Prins, redaktur majalah Indisch Moesson. “Kami tidak dendam seperti yang digambarkan dalam media Belanda, orang Indo Belanda minta pengakuan sejarah mereka. Memang kami akan senang kalau pihak Indonesia minta maaf,” katanya.
“Saya tidak minta ganti rugi untuk keluarga saya yang dibunuh, saya akan merasa malu. Yang saya inginkan adalah pengakuan, bukan permintaan maaf. Agar orang mengenal para korban, supaya jangan dilupakan generasi penerus,” demikian Jan A. Somers, seorang pembaca harian NRC Handelsblad dalam rubrik surat pembaca.
source: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/rawagede-beda-dengan-zaman-bersiap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar