Rabu, 11 Januari 2012
Sentiong adalah Rumahku
by: Adrian Syahalam
Harga sewa hunian begitu tinggi. Banyak warga Jakarta terpaksa tinggal di antara batu nisan. Mereka membangun gubuk dan meneruskan hidup.
Siapa menyangka di dalam area pekuburan terdapat aktivitas ekonomi. Padahal, kuburan selama ini adalah tempat semua urusan di dunia selesai. Tapi lain halnya di Sentiong, sebutan untuk pemakaman Cina di Taman Pemakaman Umum Kebon Nanas Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Awalnya bangunan itu didirikan tanpa dinding. Tapi, entah sejak kapan, makam-makam itu diberi disekat dengan kayu lapis setinggi dua meter. Terlihat pula bangunan yang hanya dilapisi asbes, ditambah plastik dan kardus cokelat usang. Ketika hujan tiba, atau hari sedang panas terik, penutup tu berfungsi sebagai pelindung bagi penghuni.
Sore itu pemandangan di sana laiknya tempat penampungan pengungsi. Hujan yang turun sepanjang siang menyisakan becek, kotoran dari sampah plastik, dan banyak lagi. Belum lagi tumpukan bekas gangsiran koral-koral marmer makam.
Orang-orang yang tinggal di sana memanfaatkan sisa-sisa bahan dari kardus, seng, atau terpal untuk mandi, cuci, kakus ala kadarnya. Tak aneh bila kemudian muncul bebauan menyengat saat melintasi bilik-bilik yang dikelilingi terpal-terpal bercorak biru itu.
Meski kumuh, bila masuk ke dalam gubuk, akan terlihat pemandangan yang mengejutkan. Di sana ada barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti pesawat televisi, pemutar DVD, kulkas, kipas angin, hingga telepon seluler.
Dari balik tumpukan radio atau teve berwarna itu tersembul huruf-huruf kanji Cina tiga kolom tegak lurus. Batu nisan yang terbuat dari marmer hitam pun disulap menjadi meja makan dan dipenuhi berbagai makanan ringan.
Kuburan yang sunyi dan dianggap angker pun tak lagi menakutkan. Tiga orang sedang memainkan gitar. Sebuah lagu remaja yang sedang beken mereka alunkan. Tiga orang yang menyanyi itu duduk santai di atas nisan. Sementara sejumah orang memanggul karung plastik berisi barang bekas. Tak berselang lama, muncul seorang tua lusuh tertatih-tatih menarik gerobak penuh muatan sampah rumah tangga.
Tak jauh dari pintu masuk sebelah utara Sentiong terdapat gubuk kecil berukuran 2x3 meter. Di sinilah Supinah (36 tahun) tinggal bersama putri perempuannya, Cuci Yuliawati dan Sarjono, adik iparnya.
Kondisi Cuci Yuliawati memprihatinkan. Ia kadang bicara dan tertawa tanpa sebab. Bahkan, tiba-tiba ngacir jika ada orang datang ke gubuk itu. ”Ini gara-gara bapaknya yang sering mukul waktu saya jadi TKW di Malaysia,” kata Supinah.
Atas bantuan lembaga dari Persekutuan Gereja Yehuda Ministry, Cipayung, Jakarta Timur, Cuci menjalani terapi perawatan kejiwaan.
Taman Baca di Pekuburan
Di area kuburan itu juga terdapat sebuah ”bangunan” berukuran 3 x 6 meter. Dulu ”bangunan” itu berfungsi sebagai gereja darurat. Lantaran ketiadaan tenaga relawan yang rutin datang, ”gereja” yang rutin didatangi sejak 2004 itu berubah menjadi taman baca.
Telah tiga tahun berselang taman baca diisi rak-rak dan buku anak-anak, antara lain buku ajar membaca huruf alfabet hingga gambar-gambar hewan yang biasa diajarkan di taman kanak-kanak.
Taman baca itu dinamai Lentera Kasih. Pendirinya Santa dan Marlina. Kedua perempuan ini penyalur buku-buku sekaligus tenaga relawan pendidik yang datang seminggu sekali. ”Kalau ingin lebih tahu nanti kamu akan saya kenalkan ke Ibu Santa, kalau kamu ada waktu,” ujar Sonya Elizabeth Maria, warga pekuburan.
Meski tak terlihat seorang pun sedang membaca di tempat itu, saat waktu membaca tiba anak-anak sekitar taman baca pasti berkumpul. Namun, hanya segelintir yang berminat membaca. Entah apa yang ada di benak orang tua mereka dengan kehadiran taman baca.
Coeh Si Penggali Kubur
Salah satu penghuni kuburan itu Thohir Rohili alias Coeh. Semula ia meneguhkan cita-cita menjadi guru agama. Tapi ayahnya, Marjuki, yang juga penggali kubur, berkata, “Coeh jangan kecewain tauke-tauke. Biar dikata hidup lu susah, yang penting rezeki lu halal.” Ayahnya pun meminta ia melanjutkan profesi sebagai penggali kubur.
Hingga kini pekerjaan pria kelahiran 7 September 1964 itu meneruskan ayahnya sebagai penggali kubur. “Ya biar dikata sehari dapat duit Rp 60 ribu, yang penting tidak ngecewain orang tua,” katanya sambil mengepulkan asap rokok.
Kadang ia mendapat rezeki lebih. Saat Imlek banyak peziarah memberinya angpau Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu. “Kalo sekarang waktu Ceng Beng (perayaan hari besar Tionghoa) jarang keluarga yang ke sini,” tutur Coeh sambil melongok ke makam Cina lain tak jauh dari gubuknya. Terlebih saat ini banyak orang meninggal yang dikremasi sehingga keluarga Tionghoa yang datang melakukan ritual pada leluhurnya makin berkurang.
Sehari-hari Coeh tinggal di gubuk ukuran 8x7 meter beratap asbes dan berdinding terpal. Dia tinggal bersama Darmini, 39 tahun, mantan pekerja seks komersial asal Klaten, Jawa Tengah. Mereka hidup tanpa ikatan perkawinan. Kini rutinitas Darmini sehari-hari menjadi pemulung sekaligus membantu Coeh menjadi tukang gali bong.
Dulu gubuk yang ditempati Coeh sebuah bangunan kuburan. Hanya lantaran sang pemilik tak mampu membayar iuran perawatan, makam itu dibongkar pengelola TPU. Sejak itulah bangunan itu ditempati Coeh, hingga sekarang.
SOURCE: http://www.vhrmedia.com/Sentiong-adalah-Rumahku--kisah3423.html
Labels:
HAK ASASI MANUSIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar