Selasa, 12 April 2011

Ibnu Rusyd: Aristotelianis Muslim Penyelaras Agama dan Filsafat








Ibnu Kaldhun:
Orang yang hidup untuk kepentingan bersama akan mati seperti raksasa yang akan selalu di kenang oleh orang lain, tetapi orang yang hidup untuk kepentingan sediri, akan mati seperti orang kerdil, sendiri dan sepi

Hegel:
Cogito Ergo Sum (Saya berfikir maka saya ada)

Machiavelli:
Manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya dari pada kehilangan warisannya
IBNU RUSYD (Kritik Terhadap Al-Ghazali, Averroisme dan Pengaruhnya di Eropa)

A. Pengantar
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran.

Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rusyd memandang

Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.[1]

Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.

Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.

B. Biografi Singkat Ibu Rusyd
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Selain itu, Ibnu Rusyd mempunyai profesi sebagai hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur.[2] Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.

Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.[3] Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[4]

Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.

Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.[5] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.

Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles.[6] Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.

Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.

C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
1) Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
1. Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2. Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
3. Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran.[7] Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.

Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.

Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.

1. Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada.[8] Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.

Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.

Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.[9]

2. Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh ¬al-Qadim. Inilah alam keseluruhan, perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang.

Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.[10]
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.

Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim.[11] Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.

3. Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini.[12] Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.

Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali tidak konsisten, dalam tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.[13]

4. Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya.[14] Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut.

Cara Tuhan berbeda mengetahui yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya.[15] Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.

Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya.

5. Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.[16]

Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.

2) Pengaruhnya di Eropa
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut.

Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat.

Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut. Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan dalam intisari filsafat.[17] Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.

Aziz Dahlan menjelaskan para pelopor lain dalam mempelajari filsafat tidak hanya dari kalangan intelektual tetapi juga dari kalangan agamawan Kristen, seperti Paus Silvester II (999-1003 M). Begitu pun setelah Toledo jatuh ketangan Alphonse (451 H/ 1058 M), dewan penerjemahan (kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Latin) didirikan oleh Raymund (1130-1150 M), Uskup Kepala di Toledo dan dewan ini dipimpin oleh Dominikus Gundisalvus.

Pengakajian yang tidak kalah bergairah bahkan mendapat dukungan kuat dari Kaisar Frederik II (1212-1250 M), seperti di wilayah-wilayah Italia Selatan Palermo, Sisilia, dan Napoli. Di pusat-pusat pengkajian ini, karya-karya Ibnu Rusyd mendapat apresiasi yang luar biasa tinggi, hal itu terlihat dari banyaknya fasilitas yang diberikan Kaisar kepada Michael Scot (1175-1234 M) untuk menyalin dan menterjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedangkan Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) menterjemahkan karya-karya al-Farabi. [18]

Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat Ibnu Rusyd juga mendapat penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja, seperti Keuskupan Paris “mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu Rusyd di berbagai perguruan tinggi pada abad ke-13.[19] Fakta-fakta diatas terkesan berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa Eropa, secara sembunyi-sembunyi sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang mempelajari hal-hal yang berbau duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan Ibnu Rusyd.

3) Averroisme
Ditangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka. Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah tantangan secara diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan dogmatis.

Seperti ditulis diatas, disini para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara resmi melarang, tetapi mempelajarinta secara diam-diam dalam gereja mereka. Karena itu larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mua’allim al-awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) mendirikan aliran Averroisme.[20] Penamaan Averroisme sebagai pengikut Ibnu Rusyd, menurut Sirajuddin Zar (seperti disebut sebelumnya) adalah kurang tepat, lebih tepatnya dinisbahkan pada kakek Ibnu Rusyd sendiri.

Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran hanyalah Gereja Kristen.[21] Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11 abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M) dan sukses dalam menyatukan Eropa didalam kerajaan Gereja Katolik– ditandai dengan supremasi gereja secara absolut diatas negara. Dalam situasi itu kehidupan masyarakat Barat sepenuhnya dalam kontrol dan dogma gereja Katolik Roma, sehingga tidak ada kemerdekaan dan keselamatan diluar gereja.

Menurut Sirajuddin Zar, kendatipun Averroisme ini namanya dibangsakan kepada Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang agama yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional dalam bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hanya mengambil dasar-dasar rasional saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka. Lebih jelasnya Sirajuddin Zar menulis demikian.

“Ibnu Rusyd dilatarbelakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan dinamis. Di dalam Islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-dalalah) amat sedikit jumlahnya. Adapun yang terbanyak ialah ajaran Islam yang bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang hanya dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya diserahkan pada otak manusia setempat dimana ia hidup…berbeda dengan Islam, agama Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan filsafat. Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di Eropa, yang atara agama dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan.” [22]

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dalam Islam, demikian juga paham filsafat Ibnu Rusyd tidak ada kebenaran ganda, karena dari penjelasan sebelumnya jika terjadi ketidak sesuaian penemuan kebanaran akal dengan kebenaran wahyu, maka dilakukan proses takwil. Sehingga akhirnya hanya ada satu kebenaran, yaitu kesatuan kebenaran agama dan filsafat. Sebaliknya bagi bangsa Eropa terdapat kebenaran ganda(double truth), karena tidak mungkin mendamaikan kebenaran akal dan kebenaran agama. Jadi konsep kebenaran ganda yang dikembangkan Averroisme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.

D. Penutup
Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.
________________________________________
[1] M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, (Delhi: Adam Publisher, 1994), cet, ke-1, h. 170
[2] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter [terj], penerjemah Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet, ke-1, h. 29
[3] Ibid, h. 32
[4] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet, ke-3, h. 37, selanjutnya disebut Madjijd, Khazanah…
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2004), cet, ke-1, h. 221
[6] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, [terj.] penerjemah Pustaka Firdaus, penyunting Sutarji Calzhoum Bachri, dari berbagai sumber, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet, ke-8, h. 111
[7] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), cet, ke-1, h. 95 selanjutnya disebut Dahlan, Pemikiran…
[8] Madjijd, Khazanah, op.cit, h. 207
[9] Tujuan takwil ialah mengangkat makna suatu lafal dari maknanya yang hakiki (riil) kemakna yang majazi (metaforik), tanpa mengabaikan kebiasaan bahasa Arab dalam membuat metafor. Syara’ mengandung makna lahiriah dan makna bathiniah ialah karena keanekaragaman kemampuan manusia dan perbedaan bakatnya untuk menerima kebenaran. Ibid, h. 216
[10] Ibid, h. 223
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN Press, 1999), cet, ke-1, h. 226
[12] Ibid, h. 230
[13] Dahlan, Pemikiran, op.cit, h. 115
[14] Ibid, h. 116
[15] Madjijd, Khazanah, op.cit, h. 221
[16] Ibid, h. 225
[17] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd, op.cit, h. 99
[18] Dahlan, Pemikiran, op.cit, h. 118
[19] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd, op.cit, h. 100
[20] Dahlan, Pemikiran, loc.cit,
[21] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, op.cit, h. 256
[22] Ibid, h. 256-257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar